info ISLAM

Kamis, 17 Februari 2011

TERJUN KE MASYARAKAT

TERJUN KE MASYARAKAT


Hizbut Tahrir telah berhasil melewati tahap Muhawalah al-Mukhatabah (usaha menyeru masyarakat) dengan hasil gemilang, dan mampu menjadikan umat serta pelaku-pelaku politik (seperti politisi, parpol-pen) secara keseluruhan merasakan keberadaan Hizb sebagai partai politik yang berasaskan akidah. Hizb juga mampu mengangkat pemikirannya, sekaligus menempatkannya pada kedudukan yang amat diperhitungkan. Dalam perjalanannya, Hizb –saat ini- telah sampai pada upaya untuk bertolak menuju pintu gerbang masyarakat. Hizb mulai berupaya untuk mengetuknya hingga dibukakan atau dibuka sendiri (oleh Hizb) sehingga dapat masuk ke dalam.
Sekarang, Hizb sedang mempelajari hambatan yang mengunci dan memalang apa yang ada di balik pintu tersebut, termasuk para penyambut dan penjaganya, sehingga dapat membuka pintu dan memasukinya dengan kekuatan penuh, yang memungkinnya untuk meneguhkan diri dan berkiprah di dalamnya.
Akan tetapi, harus dipahami dengan jelas bahwa Hizb telah mempersiapkan segenap kekuatannya untuk terjun dan berjuang di tengah-tengah masyarakat dengan benar-benar menjaga akidah serta coraknya yang berbentuk ideologis, sehingga dapat dipahami secara rinci sebagai sebuah partai Islam, yang terjun di tengah-tengah masyarakat yang tidak Islami untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam dengan jalan mendirikan Daulah Islamiyah, yang mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. Hizb juga wajib menjaga thariqah (metode)nya, sama persis seperti menjaga fikroh (ide)nya. Begitu pula Hizb wajib menjaga uslub (cara) yang dipilih dan ditentukannya, seperti halnya menjaga fikroh dan thariqahnya, selama kesalahannya tidak tampak. Namun ketika kesalahannya tampak, maka Hizb harus membuangnya, dan mengadopsi yang lainnya. Seperti meninggalkan semua pemikiran yang salah, yang terdapat di dalam fikroh dan thariqahnya. Oleh karena itu, setiap kesalahan –meskipun tidak disengaja- dalam usaha (mengeluarkan pendapat-pen)untuk melaksanakan semua jenis pemikiran, baik menyangkut fikroh, thariqah, ataupun uslub yang dipilih dan ditentukannya, dapat dianggap sebagai kesalahan yang berbahaya. Apabila dilakukan dengan sengaja dan terus-menerus, maka dapat dianggap sebagai bentuk penyelewengan yang disengaja. Karena itulah, setiap hizbiyin tidak boleh mempunyai pandangan yang kabur, baik pandangan tersebut berupa pemikiran, politik maupun administratif. Bahkan, pandangan-pandangan tersebut wajib ditanamkan dengan penuh keyakinan, atau diterima dengan suka rela, tanpa reserve.
Dalam tahap ini, Hizb akan dihadapkan kepada penyimpangan terhadap pandangan-pandangannya, dan banyaknya usulan serta nasehat yang berasal dari syabab maupun masyarakat, terutama ketika hizb berdiri lama di depan pintu masyarakat, dan tidak kunjung berhasil memasukinya dengan mudah dan cepat. Kadang-kadang realitas partai politik yang menjadi bagian dari masyarakat (yang tidak Islami-pen) dijadikan alasan/bukti bagaimana partai-partai tersebut mampu masuk dan mengambil kendali langsung mengalahkan Hizb. Kadang-kadang sirah Nabi dicoba untuk ditakwilkan, atau pemikiran dan selebaran-selebarannya juga dicoba untuk ditafsirkan. Adakalanya faktor yang memacu semuanya itu adalah keikhlasan syabab kepada Hizb, dan ada juga sebagian yang didorong oleh desakan kuat dari luar Hizb yang telah mempengaruhi banyak kalangan. Usulan-usulan dan nasehat tersebut juga akan meningkat setelah pintu masyarakat berhasil dibuka, dan ketika Hizb berada di dalamnya. Sebab, akan muncul badai yang menghadang dengan kuat. Islam yang bersih dari segala kotoran –meski tidak didukung dengan sarana yang kuat- akan berhadap-hadapan dengan kekufuran yang menyimpang-dan didukung dengan sarana yang kuat-, saling menghantam dengan kuat dan keras. Oleh karena itu, akan muncul banyak usulan seputar uslub supaya diganti dengan sarana yang lebih kuat dan lebih diperlukan, tanpa memperhatikan lagi apakah uslub itu bertentangan atau tidak dengan pemikiran yang dipilih dan ditentukan oleh Hizb. Dengan demikian, Hizb harus menyadari semua uslub dan sarana tersebut, serta memahami bahwa ketika berusaha terjun ketengah-tengah masyarakat, wajib berpegang kepada fikroh, thariqah dan uslub-nya, meskipun memerlukan waktu yang lama untuk menunggu di depan pintu gerbang masyarakat. Hizb juga harus hidup di tengah masyarakat sebagai pihak yang berpengaruh, dan bukan terpengaruh, sebagai pihak yang merubah dan bukan yang berubah, serta dengan keteguhannya yang mampu menjatuhkan kepercayaan lawannya, dan mampu mempertahankan nilai-nilai internalnya dengan sekuat-kuatnya.
Untuk menggambarkan usaha Hizb dalam mengetuk pintu masyarakat hingga dibukakan atau dibuka sendiri, serta memahami hakikat perjalanannya di tengah masyarakat dalam rangka merubah pemikiran-pemikiran mendasar yang berkembang di sana, dan pemikiran-pemikiran cabang (bersifat temporal) yang merajalela, serta merubah perasaan-perasaan yang dominan di tengah-tengah masyarakat, maka makna (tentang) masyarakat wajib dipahami sebagaimana yang didefinisikan oleh Hizb. Kesadaran tentang realitas masyarakat dalam wilayah yang dijadikan sebagai majal dakwahnya wajib dimiliki dengan pemahaman dan kesadaran yang mendalam dan rinci, baik menyangkut keseluruhannya maupun bagian-bagiannya.
Mengenai masyarakat, Hizb telah mendefinisikannya sebagai akumulasi manusia, pemikiran, perasaan dan sistem. Definisi ini bersifat umum (yang berlaku untuk semua bentuk masyarakat, Islam maupun non Islam-pen), yang merupakan hasil kajian terhadap realitas masyarakat sebagai sebuah masyarakat, tetapi dengan asumsi bahwa masyarakat yang kita kehendaki adalah masyarakat tertentu yang unik, yang berbeda dengan masyarakat-masyarakat lainnya. Penjelasan tentang kajian ini secara rinci adalah, bahwa satu orang dengan satu orang ditambah lagi satu orang akan membentuk sebuah jamaah. Jika mereka membentuk hubungan secara kontinue, maka mereka menjadi masyarakat, tanpa memperhatikan lagi kuantitas mereka, banyak atau sedikit. Sedangkan yang membentuk hubungan di antara mereka adalah kemaslahatan (mashlahah), di mana masing-masing pihak terdorong untuk meraihnya, baik kemaslahatan itu untuk memperoleh manfaat atau menolak mudarat tertentu. Adapun yang mendorong seseorang untuk meraih mashlahah tersebut adalah potensi kehidupan yang terdapat di dalam dirinya. Itulah yang mendorongnya untuk memenuhi naluri dan kebutuhan jasmaninya. Dari potensi inilah kemudian lahir perasaan yang berfungsi sebagai penggerak langsung. Namun, dalam diri hewan, penggerak tersebut berjalan mengikuti potensi kehidupan dan pengalaman-pengalamannya, yang pernah dijalaninya secara langsung maupun oleh yang lain. Sedangkan manusia akan terdorong untuk memenuhinya mengikuti mekanisme yang ditentukan oleh pemahamannya. Pemahaman-pemahaman inilah yang menentukan bentuk perasaan yang mendorongnya, serta bentuk mekanisme tindakannya. Dan berdasarkan pemahaman-pemahaman dan perasaan-perasaan tersebut, dia akan mengatur kemaslahatannya, sehingga hubungannya dengan pihak lain dibentuk berdasarkan pemikiran, perasaan dan sistem yang diterapkan, dan dimilikinya. Karena itu, yang merubah manusia dari sebuah jamaah (kumpulan) biasa menjadi masyarakat adalah hubungan yang dilaksanakan di antara sesama mereka. Dengan demikian, terjun ke tengah-tengah masyarakat tidak lain kecuali dengan menentang seluruh bentuk interaksi yang ada di antara sesama manusia dalam masyarakat.
Hanya saja seluruh bentuk interaksi tersebut terbentuk melalui kekuasaan penguasa yang menguasai dan mengatur masyarakat, di mana antara penguasa dan rakyatnya terdapat interaksi. Oleh karena itu, menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung di antara sesama anggota masyarakat dalam rangka mempengaruhi masyarakat tidaklah cukup, melainkan dengan menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan rakyatnya harus digoyang dengan kekuatan penuh, dengan cara diserang sekuat-kuatnya dengan penuh keberanian, sehingga seluruh bentuk interaksi yang berlangsung di antara sesama anggota masyarakat tersebut dapat terpengaruh. Dengan demikian, terjun dan berjuang di tengah-tengah masyarakat, tidak hanya menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung di antara sesama anggota masyarakat, akan tetapi menyerang secara total interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan umat dalam perkara yang menyangkut kemaslahatan manusia. Sebab, di tangan penguasalah wewenang untuk mengatur dan memelihara urusan rakyatnya serta mengontrol seluruh bentuk interaksi di antara sesama mereka, maupun antara mereka dengan pihak lain. Selama tangan yang memegang kewenangan untuk mengatur dan memelihara urusan rakyat tersebut tidak dipukul dengan sekuat-kuatnya dan dilakukan secara terus-menerus, maka masyarakat banyak pasti tidak akan menyadari kebobrokan masyarakatnya serta keharusan untuk merubahnya. Mereka juga tidak mungkin dapat melihat kesalahan pemikiran yang diembannya, serta kepekaan perasaan mereka terhadap kemaslahatannya. Oleh karena itu, semestinya aktivitas Hizb yang paling menonjol adalah aktivitas menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan umat dalam semua aspek, baik menyangkut cara penguasa tersebut mengurus kemaslahatan, seperti pembangunan jembatan, pendirian rumah sakit, atau cara melaksanakan aktivitas, yang menyebabkan penguasa tersebut mampu melaksanakan (urusan umat), seperti pembentukan kementerian dan pemilihan wakil rakyat. Yang dimaksud dengan penguasa di sini adalah pemerintah.
Pemerintah yang ada di dunia Islam saat ini tidak dapat disamakan sosok pejabat pemerintah(al-hakim)-nya, sebagaimana dalam pemerintahan Islam. Yang ada saat ini adalah pemerintah yang sesuai dengan gambaran sistem Demokrasi. Pemerintah saat ini mencerminkan (eksistensi-pen) kelompok yang berkuasa, dan bukan pada diri seorang pejabat pemerintah yang menjadi pelaksana. Para politikus profesional maupun partai-partai politik merupakan kelompok yang berkuasa. Oleh karena itu, kelompok berkuasa tadi seluruhnya harus diserang, baik menyangkut tindakan maupun pemikiran politiknya. Sama halnya yang dilakukan terhadap penguasa serangan itu harus pula diarahkan pada perkara yang berhubungan dengan seluruh bentuk interaksinya dengan umat maupun dengan negara-negara lain. Dalam setiap kesempatan harus dipahami dengan benar, bahwa seluruh interaksi yang berlangsung di tengah-tengah umat dan bangsa sesungguhnya dikendalikan hanya oleh para penguasa umat dan bangsa tersebut. Artinya, para penguasa itulah yang menjalankan seluruh bentuk interaksi tadi, yang mengurus dan mengaturnya. Karena itu, tidak mungkin mempengaruhi rakyat yang ada saat ini ataupun yang akan datang -malahan tidak mungkin terjun ke tengah-tengah umat dan rakyat-, kecuali dengan menyerang para penguasanya, melalui serangan terhadap seluruh pemikiran, aktivitas dan tindakan mereka.
Penguasa bangsa dan umat adalah pihak yang menjalankan seluruh interaksi yang berlangsung antar individu dalam satu bangsa dan umat. Dengan kata lain, para penguasa itulah yang mengontrol seluruh bentuk interaksi tersebut, yang mengurus dan mengaturnya. Maka, terjun ke tengah-tengah masyarakat tidak akan mampu mempengaruhi pemikiran atau perasaan apapun, kecuali melalui interaksi mereka (masyarakat) dengan para penguasa, maupun sebaliknya. Yaitu, dengan cara menyerang pemikiran, aktivitas dan tindakan para penguasa tersebut. Seluruh aktifitas tadi merupakan aktivitas partai politik, yaitu menyerang seluruh pemikiran, perasaan dan semua tindakan para penguasa yang berhubungan dengan tata cara pengaturan interaksi mereka dengan umat dan rakyatnya yang mereka pimpin, serta yang berhubungan dengan tata cara pengaturan interaksi mereka dengan para penguasa negara-negara asing. Dan partai politik tidak mempunyai aktivitas yang lain selain ini.
Masalah ini wajib dipahami dengan jelas secara menyeluruh agar kedudukan Hizb sebagai partai politik dapat dipertahankan. Juga agar mampu menjadikan pandangan-pandangannya sebagai pemikiran politik, yaitu pemikiran yang mempengaruhi tata cara mengurus kemaslahatan rakyat. Dan agar mempunyai realitas dalam benak Hizb maupun benak masyarakat -di mana mereka mampu merasakan dengan indera, atau dapat mereka jangkau dengan akal-, sehingga siapa saja yang menjadikan pandangan-pandangan politik tersebut sebagai pemikirannya akan mampu bergerak dan mempunyai pengaruh di tengah masyarakat yang berusaha dirubahnya, sehingga pandangan tadi menjadi dominan. Berdasarkan hal ini, maka apa yang dinyatakan dalam buku Mafahim Siyasiyah harus selalu dipahami, bahwa pembinaan murokkazah dan pembinaan jamaiyah dalam Hizb dianggap sebagai bagian dari politik, meskipun berbentuk aktivitas pembinaan. Sebab, pembinaan itu tidak akan diberikan, kecuali dengan pertimbangan untuk dijadikan sebagai asas dalam mengontrol penguasa, dan agar masyarakat berusaha menerapkannya. Selain itu, membongkar rencana (jahat) penguasa serta mengadopsi kemaslahatan (masyarakat) juga merupakan bagian dari politik sekaligus aktivitas politik. Sebab, melalui aktivitas tersebut, Hizb dapat menghancurkan seluruh bentuk aktivitas dan tindakan penguasa.
Dengan demikian, partai politik tidak dapat dikategorikan sibuk menjalankan aktivitas di tengah-tengah masyarakat, tatkala menjalankan tahap pembinaan. Saat itu Hizb dianggap sedang memahami fikroh dan thariqahnya supaya bisa memulai aktivitasnya untuk terjun di masyarakat. Hizb juga tidak dapat dikategorikan sibuk menjalankan aktivitas di tengah-tengah masyarakat, tatkala berusaha menyeru masyarakat (Mukhawalah al Mukhotobah). Saat itu semestinya Hizb dianggap sedang melangkah menuju masyarakat. Sama halnya Hizb juga tidak dapat dikatagorikan sibuk menjalankan aktivitas di tengah-tengah masyarakat ketika sedang berusaha terjun ke tengah-tengah masyarakat dengan cara menyerang seluruh bentuk interaksinya secara terus-menerus. Saat itu mestinya Hizb dianggap sedang membuka pintu saja. Jadi Hizb tidak dapat dikategorikan terjun ke tengah-tengah masyarakat, kecuali setelah berhasil memasukinya dan menjadi pembimbing terhadap seluruh bentuk interaksi antara para penguasa dengan umatnya, dan sebaliknya, berdasarkan pemikiran-pemikiran yang diadopsinya. Misalnya membimbing para politikus dan kelompok-kelompok yang berkuasa, dari segi pengaruh dan pandangan umat kepadanya; di mana para penguasa tersebut juga memperhitungkannya.
Berdasarkan hal ini, kita dapat mengatakan dengan jelas, bahwa Hizb telah berhasil melewati seluruh jalan menuju masyarakat, tidak lambat dan tidak cepat, melainkan melalui perjalanan yang wajar; dan kejadian-kejadian politik yang terjadi antara tahun 1956 dan 1957 turut membantu keberhasilannya. Dan sekarang, Hizb akan berusaha secara terus-menerus menyerang seluruh interaksi yang ada untuk membuka pintu masyarakat atau dibukakan. Serangannya ini berusaha untuk mempengaruhi pusat kekuasaan (para penguasa) dan politikus, baik dalam pemerintahan maupun dalam kancah politik, termasuk mempengaruhi pandangan umat terhadap Hizb, mempengaruhi para penguasa dan para politikus dari segi kemampuan, kepercayaan dan loyalitasnya, sehingga kakinya mampu berdiri dengan kokoh di tengah masyarakat. Oleh karena itu, tahrik siyasi (gerakan politik) dengan kedua bentuknya, -yaitu shira’ fikri (pertarungan pemikiran) dan kifah siyasi (perjuangan politik)- terhadap seluruh hubungan dalam dan luar negeri wajib dibangun dalam bentuk yang dapat diindera; di mana pembinaan murokkazah dan jamaiyah tetap berjalan dengan mekanismenya yang telah digariskan, begitu pula dengan perhatian yang besar terhadap munculnya uslub-uslub baru serta memperbanyak berbagai macam sarana.
Akan tetapi, hal ini tidak akan menghasilkan apa-apa, kecuali jika realitas seluruh interaksi yang diserang oleh Hizb tadi dapat dijangkau oleh akal dan diindera. Realitas pemikiran yang dibangun Hizb –semestinya- juga telah tergambar. Apabila perjalanan Hizb tetap sama seperti ketika dalam tahap Muhawalah -yaitu memahami kalimat dan menerangkan maknanya; dan gambaran tentang pemahaman tersebut dapat dibenarkan, meskipun tidak dapat diindera- maka tidak mungkin Hizb mendapatkan tempat di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, realitas majal yang menjadi tempat pelaksanaan aktivitasnya, perlu dipahami. Begitu juga realitas seluruh wilayah yang menjadi tempat aktivitasnya perlu dipahami, bahkan realitas semua negara -yang seluruh bentuk interaksi dengan para penguasanya diserang- perlu dipahami, sehingga kesadaran tentang realitas masyarakat tadi berhasil diwujudkan di tempat yang menjadi aktivitasnya. Mesipun demikian, ini tidak berarti bahwa realitas majal tersebut perlu dijelaskan. Yang dibutuhkan adalah memahami keseluruhan dan bagian-bagiannya sebagai contoh, kemudian dibiarkan perjalanannya menentukan realitas interaksi yang akan memaksa pentingnya menyerang interaksi itu. Jadi yang paling urgen disini adalah khithoh amal (kerangka kerja) -untuk masuk dan berjuang ke tengah-tengah masyarakat tadi- harus jelas dalam bentuk yang mendalam dan dapat diindera.
Mengenai kejelasan khithoh amal secara mendalam telah tertuang dalam nasyrah (selebaran) tentang Nuqthah Inthilaq dan Tahrik Siyasi. Maka dari itu kedua selebaran tadi harus dikaji ulang sendiri-sendiri oleh setiap Hizbiy, termasuk oleh Lajnah Mahaliyah dan Lajnah Wilayah. Sedangkan kejelasan khithoh amal dalam bentuk yang dapat diindera, sehingga aktivitasnya bisa langsung dijalankan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
(1) Shiro’ul Fikri (pertarungan pemikiran) yang dilakukan oleh Hizb sekarang, tetap harus diteruskan dan ditingkatkan, tanpa memerlukan pengaturan dari Qiyadah. Lajnah Wilayah harus mempersiapkan kekuatan dan mencurahkan kemampuannya untuk menciptakan dan meneruskan shiro’ul fikri menggunakan berbagai sarana yang memungkinkan, dengan catatan bahwa semuanya itu tidak boleh menyimpang dari apa yang diadopsi oleh Hizb. Namun, yang sekarang wajib diperhatikan adalah pentingnya para syabab memahami realitas pemikiran –dimana mereka terlibat shiro’ul fikri didalamnya- dengan gambaran yang jelas. Para syabab juga wajib mencoba menggambarkan realitas ini kepada khalayak ramai ketika melakukan diskusi atau penjelasan dalam bentuk yang bisa diindera dan mencolok. Ini dilakukan dengan cara mengambil contoh-contoh sejarah dan kasus, termasuk pemikiran dasar yang dianggap sebagai penghambat, dan sengaja diletakkan oleh orang kafir untuk menghadang masuknya dan mengakarnya Islam ke dalam masyarakat. Misalnya Nasionalisme Arab, bisa dijadikan sebagai contoh dalam bentuk “negatif”, dan juga “positif”. Maka, ketika Hizb menjelaskan kaburnya aspirasi, tidak jelasnya cita-cita, yang terdapat di dalam ide Nasionalisme, dan bahwa ide tersebut tidak mempunyai makna apapun yang bisa ditunjuk dengan jari, karena ide tersebut tidak mempunyai sistem maupun pandangan hidup apapun, maka ide Nasionalisme Arab tadi diserang semata-mata dalam bentuk “negatif”. Ketika Hizb menjelaskan kepada masyarakat, bahwa ide Nasionalisme tersebut berarti kesukuan dan kebangsaan, maka peristiwa Perang Bani Mustaliq dapat dijadikan sebagai contoh sejarah tentang bahaya kebrutalannya. Negara-negara Eropa sekarang ini juga dapat diambil sebagai contoh; bagaimana Nasionalisme telah menggali parit yang memisahkan sesama mereka, sehingga mustahil dibangun jembatan di atasnya untuk mewujudkan persekutuan atau kesatuan mereka, maka dalam hal ini ide tersebut diserang dalam bentuk “positif”.
Ini berkaitan dengan satu pemikiran, adapun yang berhubungan dengan berbagai pemikiran, maka dapat dilakukan perbandingan antara aktifitas Maktab Al-Waie di Beirut dengan Universitas Amerika (Beirut). Orang yang masuk ke Maktab Al-Waie akan dapat mendengarkan diskusi seputar berbagai pemikiran yang hidup dan realitasnya ada (ditengah-tengah masyarakat-pen). Adakalanya diskusi tentang informasi politik atau tindakan tertentu. Sebaliknya, orang yang masuk ke Universitas Amerika, akan mendengarkan diskusi pemikiran yang bersifat akademik, orang yang mendiskusikannya tidak akan dapat melihat sama sekali realitasnya. Jadi dapat disimpulkan, bahwa Maktab Al-Waie menjadi bagian dari masyarakat, sedangkan Universitas Amerika (Beirut) tidak menjadi bagian dari masyarakat. Karena itu, Lajnah Mahaliyah dan Lajnah Wilayah wajib memberikan contoh-contoh yang banyak dan realistis, dan terus-menerus memperhatikan hal ini supaya diskusi-diskusi tersebut hidup, sehingga serangan pemikirannya dibangun berdasarkan realitas yang dapat diindera.
(2) Kifah Siyasi (perjuangan politik) yang dapat membawa kesulitan dalam aktivitas para syabab saat ini, urut-urutannya mulai sekarang dapat disusun sebagai berikut :
1- Serangan terhadap seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan umat yang berkaitan dengan kemaslahatan masyarakat wajib dimulai secepatnya. Wajib juga dipahami dengan jelas dan menyeluruh, bahwa Hizb berada pada tahap Muhawalah al-Mukhatabah, di mana Hizb telah memperhitungkan setiap aktivitasnya sesuai dengan kadar kemampuan yang mampu dipikulnya. Untuk saat ini, ketika Hizb belum lagi terjun ketengah-tengah masyarakat, meskipun telah mengetuk pintunya, maka Hizb hanya wajib menghindari deraan sadis yang sangat menyiksa dan mempengaruhi dirinya, sedangkan pukulan-pukulan yang tidak sampai pada taraf itu tidak perlu diperhatikan. Namun, ketika tahap Tafa’ul (interaksi dengan umat), Hizb wajib melaksanakan aktivitas berdasarkan apa yang menjadi kewajibannya, membongkar dan mengadopsi seluruh peristiwa yang terjadi, Hizb –saat itu- hanya perlu menghindari pukulan yang mematikan saja, meskipun Hizb belum sampai ke sana. Sebab, tahap Tafa’ul hanya akan terjadi setelah pagar betis kekufuran dihancurkan, bersamaan dengan serangannya, Hizb telah masuk ke dalam masyarakat dengan sekuat-kuatnya. Hanya saja sejak sekarang harus diingat, bahwa Hizb bertujuan untuk mencapainya secara langsung setelah berhasil dalam serangan yang di lakukannya terhadap pintu masyarakat, agar dapat dibuka atau dibukakan.
2- Menyerang seluruh bentuk interaksi tadi sama artinya dengan menyerang seluruh bentuk kemaslahatan. Begitu pula mengkritik seluruh bentuk aktivitas dengan tajam, semata-mata hanya menyerang kemaslahatan-kemaslahatan tersebut. Jadi, masalahnya terbatas pada serangan terhadap kemaslahatan dan menggoyangnya dengan goncangan yang dahsyat. Kemaslahatan ini ada dua macam. Pertama, kemaslahatan yang berkaitan dengan manfaat kekinian, kedua, kemaslahatan yang berkaitan dengan politik kekinian. Adapun kemaslahatan yang berkaitan dengan manfaat jangka panjang, ataupun politik jangka panjang, maka secara mutlak hal itu tidak dapat dilakukan dengan menggunakan aktifitas kifah siyasi, melainkan dengan shiro’ul fikri, seperti dengan tatsqif murokkazah, atau tatsqif jamaiyah. Kifah Siyasi hanya digunakan untuk menyerang kemaslahatan kekinian saja, baik yang berkaitan dengan manfaat kekinian maupun politik kekinian.
Serangan terhadap kemasalahatan yang berkaitan dengan manfaat kekinian, dilakukan dengan jalan mengadopsi kemaslahatan umat yang ada, baik sebagian, yaitu yang berhubungan dengan lapisan masyarakat tertentu, seperti pedagang, atau negeri tertentu, seperti Suriah atau Kairo, maupun keseluruhan, yaitu berhubungan dengan seluruh lapisan masyarakat, wilayah tertentu atau seluruh majal (tempat dakwah).
Aktifitas Hizb dalam perkara ini, adakalanya dengan menjelaskan realitas tertentu, dan menciptakan ketidaksukaan –masyarakat- terhadap penguasa, tanpa menyebutkan hukum syara’ dalam masalah tersebut. Misalnya saja dengan menjelaskan kedzaliman yang dialami oleh rakyat ketika harus mengeluarkan banyak uang (pajak-pen) untuk membiayai proyek yang tidak produktif dan tidak dapat mewujudkan kemaslahatan hakiki. Atau dengan menjelaskan kerusakan (birokrasi-pen) atas penyelesaian suatu perkara yang terjadi di masyarakat, disertai dengan penjelasan hukum Allah terhadap perkara tersebut. Misalnya, seperti penempatan pos polisi di tengah-tengah masyarakat, yang dilakukan oleh negara untuk mengambil denda terhadap mereka yang melakukan penyimpangan di pasar, atau untuk menghentikan pengemudi sampai dibawa ke pengadilan. Dilain pihak pengadilan Hisbah di dalam Islam menjatuhkan sanksi kepada para pelanggar saat itu juga, ketika pelanggaran itu dilakukan. Kadang-kadang langsung dijatuhkan sanksi, atau bisa juga langsung dibebaskan, tanpa ditangguhkan lagi. Dalam kasus di atas, tidak ada pengabaian terhadap kemaslahatan masyarakat.
Adapun serangan terhadap kemaslahatan yang berbentuk politik kekinian dilakukan dengan menyerang tata cara penyusunan kabinet serta mekanisme manajemen untuk mengendalikan pemerintahan dalam satu negara, juga kelalaian parlemen, dan kedunguan Demokrasi, yang menjadikan mereka sebagai sarana politik. Disamping itu pula dilakukan dengan membongkar campur tangan kedutaan-kedutaan besar asing dalam urusan pemerintahan, serta cengkeraman pemimpin-pemimpin suku atau para konglomerat terhadap kelompok yang berkuasa dan sebagainya. Adakalanya ini terjadi secara terpisah pada saat reshufle kabinet, atau pada saat dilontarkannya mosi tidak percaya oleh parlemen. Kadang juga terjadi bersamaan dengan munculnya momentum kemaslahatan kekinian.
Inilah khithoh amal untuk terjun dan berjuang di tengah-tengah masyarakat, melaksanakannya dengan penuh kesadaran dan kecermatan, sehingga Hizb bisa membuka pintu masyarakat atau dibukakan. Hanya saja setiap orang maupun syabab Hizb harus mengetahui, bahwasanya Hizb bertujuan untuk mengambil kekuasaan secara praktis dari tangan seluruh kelompok yang berkuasa, bukan dari tangan para penguasa yang ada sekarang saja. Hizb bertujuan untuk mengambil kekuasaan yang ada dalam negara dengan menyerang seluruh bentuk interaksi penguasa dengan umat, kemudian dijadikannya kekuasaan tadi sebagai Daulah Islamiyah. Hizb tidak ingin membangun kekuasaan lain di tengah-tengah masyarakat sebagai alat yang digunakan untuk menumbangkan dan melenyapkan kekuasaan yang ada. Yang diinginkan Hizb adalah mengambil kekuasaan yang ada itu sendiri. Kekuasaan yang ada, pemerintahan yang berkuasa dan penguasa yang sedang mengangkangi rakyatnya, itulah yang sekarang menjadi tujuan untuk diambilalih oleh Hizb melalui (kekuatan-pen) umat. Kemudian bentuk dan sistemnya dirubah, dan dijalankan agar Islam bisa diterapkan dan risalah Islam dapat disebarluaskan. Ada dua hal yang menjadi konsekuensi dari semuanya ini:
Pertama, Hizb tidak akan mengutamakan satu kementerian dibanding kementrian yang lain tatkala merealisasikan kemaslahatan rakyat, dan tidak akan membela satu kementrian dengan mendiamkan kementrian lainnya. Malahan Hizb bertujuan untuk menggoyang seluruh kelompok yang berkuasa, baik yang ada dalam pemerintahan maupun kekuasaan.
Kedua, Tidak boleh mengatakan kepada masyarakat, bahwa kemaslahatan ini akan diperoleh anda tatkala Daulah Islamiyah berdiri. Sebab, pernyataan tersebut dapat menjauhkan masyarakat dari pemahaman tentang cara mewujudkan kemaslahatan mereka, dan turut memberikan andil dalam menjauhkan Hizb dari pemerintahan maupun menjauhkan pengaruh Hizb dalam pemerintahan. Oleh karena itu, serangan terhadap mekanisme yang digunakan untuk memerintah rakyat, harus sesuai dengan hukum Islam dengan hanya menjelaskan hukum syara’ tentang masalah yang diserangnya.
Aktifitas dalam kifah siyasi harus dilakukan dengan cara menyerang kekuasaan yang ada itu sendiri sehingga dapat meremukkan seluruh organ vital (yang ada dalam rongga dada) sekaligus menghancurkan karismanya. Akibatnya, orang-orang akan mengerubutinya, dan banyak tangan serta jari yang akan mencekiknya, lalu memusnahkannya dengan seluruh kekuatan. Juga harus dilakukan dalam bentuk yang memancing kerinduan kepada pemerintahan Islam, Daulah Islamiyah dan bendera Islam.
Hanya saja yang tetap tidak boleh hilang dari pikiran kita meskipun sekejap adalah bahwasanya pemerintahan bukanlah tujuan. Yang menjadi tujuan adalah melanjutkan kembali kehidupan Islam, menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh dunia, di mana pemerintahan merupakan thariqah untuk mewujudkan semuanya. Dan mengambilalih kekuasaan tidak lain merupakan thariqah untuk menjadikan kehidupan ini sebagai kehidupan Islam, yaitu menjadikan seluruh bentuk interaksi yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat berdasarkan pada interaksi Islam. Pemerintahan/kekuasaan tidak boleh dipandang istimewa melebihi kedudukannya sebagai thariqah. Jadi perkaranya bukan hanya melakukan usaha untuk menjatuhkan para penguasa saja, namun yang difokuskan adalah menjadikan pemikiran Islam dominan di tengah-tengah masyarakat, sehingga penggulingan penguasa dan pengambilalihan kekuasaanya terjadi karena cengkeraman pemikiran tersebut.
Ini dari satu aspek. Sedangkan dari aspek lain, sesungguhnya sebuah negara muncul melalui tumbuhnya pemikiran baru, yang menjadi asasnya, sehingga kekuasaan di dalam negara itu akan berubah mengikuti perubahan pemikiran-pemikiran tadi. Sebab tatkala pemikiran (afkaar) tersebut telah menjadi pemahaman (mafahim), maka ia akan mempengaruhi tingkah laku manusia. Tingkah laku manusia berlangsung sesuai dengan pemahamannya, sehingga pandangannya terhadap kehidupan berubah. Dan karena perubahan tadi, maka pandangannya terhadap kemaslahatan juga berubah. Kekuasaan itu hakekatnya adalah pengaturan tentang berbagai kemaslahatan dan arahan dalam pelaksanaan pengaturannya. Kekuasan berada di tangan kelompok yang paling kuat dari berbagai kelompok-kelompok lain di tengah masyarakat. Jika sekelompok masyarakat dalam satu wilayah mempunyai pandangan yang sama terhadap kemaslahatan, maka mereka akan mengangkat orang yang secara langsung memiliki wewenang mengatur dan memelihara urusan mereka. Dengan kata lain mereka akan mengangkat kekuasaan yang akan mengendalikan kemaslahatan mereka, atau paling tidak mereka berdiam diri (ridlo-pen) terhadap orang yang muncul untuk mengatur kemaslahatan mereka. Dari sini berarti kekuasaan itu datangnya dari umat. Adakalanya secara praktis dipilih melalui umat, atau umat berdiam diri terhadap berdirinya kekuasaan tersebut. Sebab berdiam diri merupakan salah satu jenis dari ikhtiyar.
Apabila pandangan masyarakat terhadap kemaslahatan itu berbeda-beda, maka di tengah-tengah masyarakat akan ada banyak kelompok, sehingga penguasa yang ada harus memegang kelompok yang paling kuat di antara berbagai kelompok yang ada. Pada saat dia (kelompok yang paling kuat-pen) mengatur kemaslahatannya, maka seluruh kemaslahatan kelompok-kelompok lainnya tadi juga turut serta diatur mengikuti kemaslahatan (kelompok yang paling kuat), sehingga kelompok-kelompok (kecil) lainnya menerima pengaturan tersebut. Pandangan kelompok-kelompok (kecil) terhadap kemaslahatan tersebut sama dengan pandangan kelompok (yang terkuat) tadi, sehingga seluruh kelompok tersebut melebur dalam satu kelompok, atau hingga kelompok-kelompok (kecil) itu mempunyai kesempatan yang tepat untuk menguasai kelompok (yang kuat) tadi, kemudian kekuasaannya diambil alih, sehingga kemaslahatan seluruh kelompok diatur mengikuti kemaslahatan kelompok yang berhasil mengambilalih kekuasaan tadi. Ini adalah perkara yang alami dan pasti terjadi dalam setiap kekuasaan yang mengatur dan memelihara kemaslahatan manusia. Ini berlaku baik dalam sistem kekuasaan kesukuan, Demokrasi, Islam bahkan dalam kekuasaan diktator sekalipun. Semuanya merupakan kekuasaan kelompok, dan bukan kekuasaan individu. Sebab individu yang mengatur dan memelihara kemaslahatan manusia, sesungguhnya hanya diperoleh dari dukungan satu kelompok yang kuat, atau diam (ridlo)nya kelompok itu terhadap kekuasaannya.
Dalam dua gambaran di atas, seseorang akan menjalankan kekuasaan satu kelompok (kuat) yang menjadi pendukungnya atau karena didiamkan. Jadi bukan karena kekuasaannya sendiri. Berdasarkan hal ini maka harus ada pemikiran tertentu tentang kehidupan, dan mesti ada kelompok kuat yang mengemban pemikiran tersebut dengan keyakinan penuh (qana’ah), serta menerimanya dengan ridha disertai dengan semangat hingga kekuasaan bisa diambil. Yang dimaksud dengan kelompok disini bukanlah Hizb, melainkan kumpulan orang didalam masyarakat. Sebab, Hizb bukanlah kelompok, melainkan syakhshiyah maknawiyah (karakter yang meliputi ciri khas fikrohnya, strukturnya dll-pen).
Pemikiran-pemikiran tertentu tentang kehidupan yang terpresentasikan dalam kumpulan pemahaman, standardisasi dan qana’ah itulah yang menjadi asas. Kemudian sekelompok masyarakat atau kelompok yang kuat di antara mereka menerima kumpulan pemahaman, standardisasi dan qana’ah itu meskipun secara global. Inilah yang akan melahirkan negara dan akan mengubah kekuasaan yang ada di dalamnya, tanpa dilihat lagi apakah penerimaan kelompok atau sekelompok masyarakat terhadap pemikiran tersebut merupakan hasil formulasi gambaran yang jelas dan mempunyai pengaruh yang kuat, atau berdasarkan realitas yang diindera dan dirasakan, di mana mereka telah menyaksikan kesesuaiannya dalam banyak peristiwa yang beragam.
Dari sinilah maka pertama kali harus diawali dengan mewujudkan pemikiran yang mengandung kumpulan pemahaman, standardisasi dan qana’ah tentang kehidupan. Lalu terjadi proses penerimaan terhadap kumpulan pemahaman, standardisasi dan qana’ah tersebut oleh sekelompok orang, atau oleh kelompok yang paling kuat di tengah-tengah masyarakat sehingga negara berhasil diwujudkan secara alami dan pasti.
Pengambilalihan kekuasaan di negara manapun tidak mungkin terjadi kecuali dengan menjadikan kumpulan pemahaman, standardisasi dan qana’ah diadopsi oleh umat atau oleh kelompok kuat di antara mereka sebagai thariqah untuk meraih kekuasaan. Kemudian kemaslahatan masyarakat dipenuhi berdasarkan pemahaman, standardisasi dan qana’ah tersebut. Namun jika pengambilalihan kekuasaan untuk melaksanakan sekumpulan pemahaman, standardisasi dan qana’ah tersebut berbeda atau kotradiktif dengan pemahaman yang diyakini, diterima serta dipegang teguh oleh masyarakat, maka (pengambilalihan kekuasaan-pen) hanya bisa dicapai melalui serangan dari luar, di mana kekuatan fisik dan pemikirannya mengalahkan kekuatan fisik dan pemikiran umat.
Dengan demikian, mau tidak mau harus dimulai dari umat dengan mewujudkan seperangkat pemahaman, standardisasi dan qana’ah Islam pada dirinya, serta mengembangkannya agar dapat diterima dengan bulat. Kemudian kekuasaan itu diambilalih melalui umat dengan mewujudkan Daulah Islamiyah di satu wilayah. Dengan kekuatan pemikiran serta fisiknya, Daulah Islamiyah ini akan berkembang ke belahan dunia Islam lainnya untuk bergabung menjadi satu negara. Sedangkan yang mewujudkan pemikiran-pemikiran tersebut, atau dengan ungkapan lain, yang mewujudkan sekumpulan pemahaman, standardisasi dan qana’ah dalam masyarakat, juga yang menjadikan kelompok itu kuat, atau agar masyarakat secara global bersedia menerimanya dan memandang bahwa mereka harus hidup di tengah masyarakat dengan asas tersebut, adalah Hizb saja, bukan negara, bukan pula umat, bahkan tidak juga kalangan pemikir yang ada di tengah-tengah umat selama mereka berkiprah sebagai individu. Sebab, negara hanyalah kiyan tanfidzi (badan eksekutif) saja, yang berfungsi menjalankan sekumpulan pemahaman, standardisasi dan qana’ah yang diterima oleh umat. Jadi negara bukanlah kiyan fikri (institusi pemikiran). Negara tidak mungkin melangkahi realitas kehidupan dan pemikiran umat. Negara adalah pihak yang mengatur dan memelihara urusan umat, dan kedudukannya diperoleh melalui umat. Negara dalam hal ini dengan menggunakan seluruh kemampuannya mampu merealisir secara praktis pengaturannya dalam urusan tersebut dengan menggunakan potensi kehidupan dan pemikiran umat, melalui jalan menghancurkannya, kemudian mengorganisasikannya dan menempatkannya dalam posisi praktis. Negara mungkin akan dituntut untuk melakukan perbaikan atau malah perubahan total. Akan tetapi tuntutan itu tidak mungkin dijalankan, karena dalam negara tidak ada pemikiran sebagai sebuah institusi. Ini karena negara hanyalah badan eksekutif, dan bukannya institusi pemikiran.
Adapun umat merupakan institusi sosial yang amat kompleks. Institusi ini tersusun dari laki-laki dan perempuan, kemampuan berfikir, fisik dan jasmani yang berbeda-beda. Uslub-uslub praktisnya juga berlainan sesuai dengan pemahaman, standardisasi dan qana’ah yang dimilikinya. Selain itu, institusi tersebut secara keseluruhan dikuasai oleh pemikiran-pemikiran dasar, yang dari sanalah pemahaman, standardisasi dan qana’ah tersebut bercabang, sehingga sangat sulit lagi menghasilkan pemikiran lainnya. Karena itu, cara berfikirnya juga dibatasi dengan pemahaman, standardisasi dan qana’ah tadi. Dengan demikian, institusi ini tidak mungkin menjadi institusi pemikiran, sehingga bangsa atau umat manapun –sebagai sebuah jamaah-- tidak akan mampu merubah pandangannya terhadap kehidupan umum, merubah pemahaman, standardisasi dan qana’ah kolektif yang diterima dari orang lain, sejauh apapun tingkat keterbelakangan dan kemunduran pemahaman, standardisasi dan qana’ahnya itu.
Negara dengan karakter kelembagaannya, dan rakyat –termasuk umat—dengan karakter kejamaahannya, bukanlah sumber pemahaman, standardisasi dan qana’ah. Keduanya hanyalah obyek pelaksanaan pemahaman, standardisasi dan qana’ah. Umat akan melaksanakannya sendiri, sedangkan negara akan melaksakannya atas umat (rakyat). Jadi, keduanya merupakan obyek pemahaman, standardisasi dan qana’ah, bukan sebagai pelaku/subyek. Masing-masing akan bergerak dan bertindak dalam kehidupannya sesuai dengan ketentuan pemahaman, standardisasi dan qana’ah tadi. Dan semua itu akan menjadi kaidah yang menjadi landasan untuk melangkah ke dalam waqi’ huquqi li al-daulah (realitas hak-hak negara) dan waqi’ mujtama’i li al-ummah (realitas sosial umat).
Berdasarkan hal ini, yang menjadi sumber pemahaman, standardisasi dan qana’ah, serta yang berfungsi sebagai pelaku/subyek di dalam tubuh umat dan negara adalah sesuatu yang lain -selain umat dan negara- yang berfungsi sebagai subyek dan bukan obyek, yang mampu mewujudkan dan menancapkan pemahaman, standardisasi dan qana’ah itu, yang mampu mengganti, merubah dan mempertahankannya.
Dari sini, adakalanya terbersit didalam benak, bahwa mereka -yaitu para pemikir yang secara individu tumbuh di tengah-tengah umat- yang membangkitkan. Mereka pula yang mewujudkan negara dan masyarakat. Dalam perkara ini, kadang-kadang para Nabi dan kaum reformis dijadikan sebagai argumentasi, bahwa mereka adalah individu yang berhasil membangkitkan umat. Di sini terjadi salah kaprah hingga tergelincir. Sebab, individu –siapapun- dengan karakter individualnya bukanlah institusi, sementara umat secara keseluruhan merupakan institusi, sama halnya dengan negara yang merupakan institusi. Yang dapat mempengaruhi masing-masing institusi itu adalah institusi yang lebih kuat dari keduanya, dengan catatan sama-sama memiliki karakter sebagai sebuah institusi, yang tersusun dari berbagai faktor yang dijalin oleh ikatan yang memang bisa membentuk institusi. Jadi, individu berapapun tingkat kemampuannya, tetap tidak mungkin mampu mempengaruhi sebuah institusi, sekalipun institusi itu sangat lemah. Sebab, yang mampu mempengaruhi institusi hanyalah institusi lagi. Ini ditinjau dari satu aspek.
Dari aspek lain, tatkala ide telah terwujud dalam benak seseorang, maka ide itu akan membentuk identitas berdasarkan tabiat pemikiran yang bersifat individual, bagaimanapun caranya mendapatkan ide tersebut, baik diperoleh dari hasil penemuannya sendiri, atau diperoleh setelah mendengar dari pihak lain, tanpa dilihat lagi apakah proses itu diperoleh dengan membaca sendiri atau dibacakan. Ide tersebut akan tetap dengan karakter individualnya, selama ide itu menduduki posisi sebatas pemikiran saja, dan tetap dianggap sebagai milik pribadinya, serta ciri khas dengan tabiat individualnya tetap dijaga, maka ide tersebut akan berubah menjadi pemikiran teoritis, yang dijadikan pembahasan atau tertuang dalam karya tulis. Ide tadi tidak akan berpengaruh apapun terhadap negara dan umat, berapapun jumlah pemikirnya, dan berapapun jumlah buku dan karya tulisnya. Namun tatkala ide itu berubah menjadi keyakinan dalam diri seorang pemikir, maka karakter pemikiran yang bersifat individual itu berubah karakternya menjadi standardisasi dan pemahaman. Beralih dari aspek pemikiran yang bersifat teoritis menjadi pemikiran sekaligus bersifat aplikatif. Saat itulah ide tersebut keluar dari wilayah pemikiran menjadi pemikiran yang eksis di tengah-tengah manusia, kemudian terwujud di tengah-tengah masyarakat.
Adapun yang merubah bentuk ide adalah keyakinan yang pasti terhadap ide, yaitu pembenaran yang bersifat pasti dari seorang pemikir yang sesuai dengan realitas. Sedangkan metode yang ditempuh untuk menuju ke sana adalah metode pengulangan, menumbuhkan keyakinan dan aplikasi. Ini hanya mungkin dilakukan dalam sebuah jamaah dan bersama-sama dengan jamaah. Kemudian metode pengulangan, menumbuhkan keyakinan dan aplikasi dalam jamaah serta bersama-sama dengan jamaah itu dilakukan secara terus-menerus sampai ide tersebut menjadi milik jamaah sebagai sebuah jamaah, serta menjadi milik masing-masing anggota jamaah itu. Ide itu lalu masuk dalam pandangan mereka tentang kehidupan, sehingga mampu mengendalikannya, juga masuk kedalam tindakan mereka sehingga mampu meluruskan dan memperbaikinya. Akhirnya ide tersebut mempunyai kekuatan, sehingga tercipta kondisi yang kondusif, yang jika manusia dengan karakter-karakter khasnya ditempatkan di situ pasti akan terpengaruh. Oleh karena itu, ide ini mempunyai institusi khusus, yang berbeda dengan institusi umat meskipun merupakan bagian dari umat, tetapi bukan menjadi bagian dari institusinya. Institusi khusus ini berjalan di bawah kekuasaan negara, tetapi tidak berada di bawah institusinya. Institusi pemikiran ini tidak lain adalah Hizb, yang terbentuk di tengah-tengah umat. Dengan demikian yang dapat mempengaruhi masyarakat dan negara hanyalah Hizb, bukan individu-individu para pemikir.
Hizb dengan karakternya sebagai institusi pasti akan saling bertabrakan dengan institusi negara dan institusi umat agar keduanya dapat diserang secara serentak. Sebab, Hizb mempunyai keistimewaan sebagai pelaku/subyek dan bukan keistimewaan sebagai obyek. Berbeda halnya dengan institusi negara atau institusi umat yang masing-masing mempunyai keistimewaan sebagai obyek, bukan keistimewaan sebagai pelaku/subyek. Dan berdasarkan kemampuan Hizb dalam memegang teguh institusi pemikirannya, maka masa peperangannya itu dapat ditentukan panjang pendeknya. Sebab, selama Hizb berpegang teguh kepada pemikirannya sebagai sebuah institusi, maka masa peperangannya akan memakan waktu yang singkat. Namun tatkala meremehkannya, maka jangka waktu tersebut akan memakan waktu yang lama. Selama Hizb tidak berubah pemahaman, standardisasi dan qana’ah-nya, maka secara pasti Hizb terus-menerus menyerang dua institusi tersebut, yaitu institusi umat dan institusi negara secara serentak, termasuk Hizb akan terus menyerang institusi kelompok kuat di tengah-tengah masyarakat, sehingga menjadi satu institusi, di mana institusinya yang menonjol berada di tengah-tengah institusi umat sebagai pusat kepemimpinan. Dengan institusi baru ini, maka Hizb dapat menyerang institusi negara. Dan dengan dua institusi ini yaitu (institusi) pemikiran (Hizb) dan operasional (negara), maka ia akan mendominasi seluruh kelompok lainnya, yang kesemuanya dilebur menjadi satu institusi, yaitu institusi umat.
Pertarungan yang berlangsung, dalam kapasitasnya sebagai perang pemikiran, sesungguhnya merupakan serangan terhadap pemahaman, standardisasi dan qana’ah. Jadi bukan sekedar serangan terhadap pemikiran saja. Hizb mengangkat masalah hubungan dan kemaslahatan umum, sebab memang ingin menghancurkan karakter institusi umat yang rusak, dengan jalan menghancurkan pemahaman, standardisasi dan qana’ah yang dibentuk oleh institusi tersebut. Bukan dengan menghancurkan umat, maupun individu umat manapun, karena Hizb berusaha mendapatkan dukungan dari umat dan mengangkat martabat mereka, lalu institusinya yang sekarang diganti dengan institusi yang lebih baik, sehingga institusinya menjadi unik, karena ketinggian dan keagungannya. Hizb juga ingin menghancurkan karakter institusi negara dengan jalan menghancurkan pemahaman, standardisasi dan qana’ah yang membentuknya. Jadi bukan dengan menghancurkan penguasanya. Hizb berusaha untuk mengambil dan menggantikan institusinya yang sekarang dengan institusi baru berdasarkan pemahaman, standardisasi dan qana’ah yang baru. Serangan Hizb sebagai sebuah institusi pemikiran dilakukan terhadap dua institusi itu secara serentak, yaitu institusi operasional (negara) dan institusi sosial (umat). Aktivitas Hizb dititikberatkan terhadap kedua institusi itu, bukan kepada yang lain. Serangan Hizb dapat diartikan sebagai serangan institusi atas institusi lainnya. Disamping itu karena institusi negara merupakan institusi yang memiliki kekuasaan, sekaligus institusi yang mengendalikan penjalanan institusi umat. Maka penampakkan serangan tersebut jelas, yaitu terhadap institusi negara saja. Meskipun, hakikatnya Hizb tetap menitikberatkan kepada kedua institusi itu.
Berdasarkan hal ini maka Hizb wajib terjun ke tengah-tengah masyarakat dengan karakternya sebagai institusi pemikiran, yang menonjolkan karakter institusinya itu sendiri dengan jelas. Sebab, karakter keinstitusiannya itulah satu-satunya karakter yang harus diwujudkan, di dalamnya tidak boleh terkontaminasi dengan karakter yang lain. Karena Hizb merupakan organisasi yang bertarung dengan kedua institusi diatas. Apabila hizb –dalam suatu kondisi- terkontaminasi, dengan kata lain terdapat aktivitas seorang hizbiy yang tidak sesuai dengan karakter institusinya, atau karakter Hizb terkontaminasi dengan karakter lain, maka aktivitasnya bukan hanya akan gagal, malahan lebih jauh akan melemahkan serangan Hizb, dan setelah itu akan melemahkan karakter institusinya.
Institusi Hizb tidak identik dengan strukturnya, tetapi jauh lebih luas dari itu. Memang benar bahwa aktivitas Hizb lahir dari struktur Hizb, di mana pemahaman, standardisasi dan qana’ah yang menjadi menjadi asas strukturnya merupakan bagian dari institusi Hizb. Meskipun demikian struktur tersebut bukan merupakan institusinya. Jadi institusi Hizb merupakan akumulasi dari pemahaman, standardisasi dan qana’ah yang mendarahdaging pada sekelompok manusia sebagai sekumpulan manusia, bukan sebagai individu. Apabila aktivitas-aktivitasnya lahir dari sekolompok orang itu, atau -dengan kata lain- dari salah satu struktur Hizb, atau salah satu anggota kelompok itu, sementara aktivitas-aktivitas tadi lahir dari sekumpulan pemahaman, standardisasi dan qana’ah, maka aktivitas itu sebenarnya lahir dari Hizb dalam kapasitasnya sebagai sebuah instistusi. Jadi yang melahirkan bukan dari individu maupun strukturnya.
Karakter institusi Hizb tersusun dari beberapa unsur, yang masing-masing diramu oleh ikatan yang membentuk institusi. Sedangkan unsur yang membentuk karakter institusi Hizb adalah kumpulan pemahaman, standardisasi, qana’ah, dan sekelompok manusia. Sedangkan ikatan yang menjalin unsur-unsur itu adalah akidah yang menjadi asas Hizb, dan tsaqafah yang menjadi identitas pemahaman Hizb. Berdasarkan unsur-unsur serta ikatan inilah, maka institusi pemikiran, atau Hizb itu terbentuk. Institusi ini satu-satunya yang wajib melakukan aktivitas. Hizb layaknya badan (syakhshiyah) yang dapat diindera, kekuatan dan pengaruhnya dapat dirasakan, sama persis seperti tubuh negara dan tubuh umat. Badan (syakhshiyah) atau institusi inilah yang masuk ke dalam arena pertarungan di tengah-tengah masyarakat. Dialah yang harus berusaha meraih kepemimpinan umat, baru kemudian menggapai kendali pemerintahan. Hizb harus pula berusaha agar umat menjadikan tubuh Hizb sebagai tubuh umat, dan menjadikan tubuh umat sebagai tubuh Hizb. Dalam kerangka menerjuni masyarakat sesuai dengan langkah yang digariskan dalam nasyrah, maka Hizb menempuh uslub sebagai berikut:
1- Yang berkaitan dengan uslub, dalam khiththoh ini aktifitas yang dikeluarkan tidak mengikuti rumusan para hizbiyin, ataupun yang berasal dari Lajnah al-Mahaliyah. Baik yang menyangkut rumusan kifah siyasi, maupun shiro’ul fikri. Sesungguhnya setiap hizbiyin wajib mengemban dakwah secara terus menerus, melakukan diskusi dan kontak, serta memberikan halaqah. Lajnah al-Mahaliyah juga secara terus menerus harus melakukan aktivitasnya sebagai hizbiyin dalam tatsqif murokkazah, tatsqif jama’iy, mengontrol dakwah, serta berusaha membuat rencana apa yang dipandang perlu untuk dilakukan, antara lain yang berkaitan dengan diskusi, seperti memberikan pemikiran tertentu untuk memotivasi diskusi, atau membuat uslub-uslub tertentu untuk menggerakkan para syabab. Masing-masing Lajnah al-Mahaliyah dan hizbiyin wajib melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka oleh orang yang mempunyai wewenang. Ini menjelaskan ciri ketaatan yang disertai dengan kesadaran mutlak, sekaligus menerangkan ciri sebuah institusi yang melakukan aktivitas bukan sebagai individu maupun lajnah. Setiap hizbiyin wajib melakukan aktivitas berdasarkan dorongan dari dalam, sekalipun hubungannya dengan Lajnah al-Mahaliyah terputus. Begitu pula setiap Lajnah al-Mahaliyah harus melakukan aktivitas berdasarkan dorongan internalnya, meskipun hubungannya dengan Lajnah al-Wilayah terputus.
2- Lajnah al-Wilayah merupakan administratur Hizb, sekaligus penampakan politik, di mana Hizb dapat disaksikan secara politis. Di satu negeri Lajnah al-Wilayahlah yang aktif sebagai sebuah Hizb. Karena itu dalam aspek politik Lajnah al-Wilayah harus nampak di tengah-tengah umat dan di dalam wahana politik, seperti juga keharusan penampakkannya dalam aspek pemikiran. Jadi politik menjadi atributnya, sedangkan pemikiran merupakan tabiatnya.
Inilah substansi Lajnah al-Wilayah dalam sebuah negeri. Tatkala substansi dan sosoknya telah dikenal, maka ia akan mudah melakukan aktivitas berdasarkan dorongan internalnya, sekalipun hubungannya dengan Lajnah al-Qiyadah dalam jangka waktu tertentu, atau dalam kondisi tertentu terputus.
3- Aktivitas Lajnah al-Wilayah ada dua macam: (1) Aktivitas operasional, yang wewenangnya diserahkan kepada mu’tamad sendiri. (2) Aktivitas administratif-managerial untuk wilayahnya, yang wewenangnya diserahkan kepada lajnah secara keseluruhan sebagai sebuah lajnah. Pengambilan keputusan seperti yang telah dijelaskan dalam nasyrah sebelumnya, yaitu apabila membawa implikasi pada pemikiran maka yang diambil adalah yang benar, meski diperlukan waktu lebih banyak untuk membahasnya. Jika dalam perkara itu tidak diperoleh kata sepakat untuk menerima satu pendapat, maka pendapat mu’tamad-lah yang dijadikan rujukan, tanpa memperhatikan lagi aspek lainnya. Misalnya saja apakah tekanan Hizb terhadap kementrian tertentu untuk melaksanakan aktivitas tertentu berakibat pupusnya peluang Hizb untuk memimpin pemerintahan, ataukah tidak? Apakah pelaksanaan salah satu aktifitas kifah siyasi di wilayah itu dapat membawa implikasi dihantam dengan hantaman yang mematikan, ataukah tidak ? Jadi setiap pendapat yang membawa implikasi pada pemikiran tidak perlu lagi memperhatikan pendapat mayoritas.
Sebaliknya apabila pandangan tersebut membawa implikasi pada perbuatan, maka yang dijadikan rujukan adalah pendapat mayoritas. Misalnya saja, apakah suatu perkara cukup diekspose di masjid-masjid atau dengan selebaran tertulis ? Contoh lain, apakah selebaran itu disebarluaskan diseluruh negeri atau khusus di sebagian kota-kota penting saja supaya lebih terfokus di tempat-tempat tertentu sehingga pengaruhnya lebih kuat dan besar ? Dan contoh-contoh semacam itu yang membawa implikasi pada perbuatan.
4- Lajnah al-Wilayah bertanggung jawab atas pelaksanaan khiththoh terjun ketengah-tengah masyarakat menggunakan uslub yang dijalankan berdasarkan rincian sebagai berikut:
Pertama, Menjalankan keputusan yang berasal dari qiyadah, baik yang berbentuk umum untuk seluruh hizbiy, maupun keputusan yang ditujukan untuk wilayah, negeri tertentu, ataupun aspek tertentu.
Kedua, Menerbitkan dan menyebarluaskan setiap statement (bayanah), selebaran (nasyrah), catatan (mudzakkarah) dan sebagainya yang berasal dari qiyadah. Baik yang berbentuk umum untuk seluruh hizbiy, maupun yang ditujukan khusus untuk wilayahnya. Dalam hal ini ketetapan itu adakalanya diputuskan dengan susunan redaksional tertentu dan bersifat final, maka untuk jenis ini harus disebarluaskan apa adanya tanpa berusaha untuk memodifikasi lafadz maupun makna kalimatnya. Adakalanya keputusan itu berbentuk point-point tertentu, atau rancangan penjelasan atau selebaran tertentu, maka saat ituLajnah al-Wilayah dapat menyusun dan membuat penjelasan, selebaran atau catatan sebagai bentuk final sesuai dengan pandangannya. Lajnah al-Wilayah bisa menerbitkan dan menyebarluaskannya atas nama Hizb dengan stempel Hizb. Kadang-kadang keputusan itu juga berbentuk kemaslahatan tertentu, yang diizinkan oleh qiyadah untuk diadopsi, maka untuk kasus ini Lajnah al-Wilayah dapat mengeluarkan nasyroh dan rencana untuk melakukan kontak atau serangan halus secara individual (hamalat al-hams), kemudian diterbitkan dan disebarkan sesuai dengan kondisi yang menurut pandangan Lajnah sesuai. Dalam hal ini dapat mengatasnamakan Hizb dengan stempel Hizb. Dilihat dari aspek penyampaian ide, keputusan yang menyangkut kemaslahatan, maupun pandangan yang bersifat final, maka seluruh jenis selebaran ini berbentuk operasional praktis. Sedangkan jika dilihat dari aspek penerbitan, distribusi, uslub dan yang sejenis itu, maka bentuknya bersifat administratif-managerial, baik pada mulanya dikeluarkan oleh qiyadah, atau sebagai bantahan terhadap usulan Lajnah al-Wilayah.
Ketiga, Setiap Lajnah al-Wilayah dengan sendirinya wajib melakukan aktivitasnya secara langsung tanpa menunggu izin lebih dahulu dari Lajnah al-Qiyadah untuk menceburkan diri di tengah-tengah masyarakat. Ini berarti menceburkan diri dalam seluruh bentuk interaksi masyarakat, dan menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan umat dalam perkara yang menyangkut kemaslahatan umat. Semua ini sesuai dengan nasyrah tahrik siyasi dan nuqthah Inthilaq. Karena itu, sarana-sarana yang efektif harus dibuat. Dengan pertimbangan tadi Lajnah al-Wilayah dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:
1) Mengeluarkan nasyrah yang bahan-bahannya dipersiapkan secara menyeluruh, baik menyangkut ide, redaksional, penerbitan maupun distribusi sesuai dengan uslub yang dianggapnya sesuai, tanpa harus merujuk pada Lajnah al-Qiyadah. Hanya saja nasyrah tersebut tidak boleh menggunakan nama Hizb cukup dibubuhkan tanggal keluarnya, sebagaimana dalam nasyrah komentar mingguan (ta’liq usbu’iy) dan (serial) hukum Islam. Meskipun demikian tetap harus nampak, bahwa nasyrah tersebut berasal dari Hizb, yaitu dengan menggunakan istilah, susunan redaksional dan makna (yang khas). Masyarakat juga harus dipahamkan bahwa nasyrah tersebut berasal dari Hizb. Kemudian seatu berkas nasyrah tadi dikirimkan kepada qiyadah.
2) Melakukan kunjungan terencana, dan berbagai loby intensif.
3) Usaha melakukan serangan halus yang dilakukan secara pribadi, dengan uslub yang telah ditetapkan.
4) Menerbitkan surat kabar daerah atau berbagai surat kabar tetapi berbentuk jurnalistik, bukan berbentuk ke-Hizb-an.
Keempat, Seluruh aktivitas Lajnah al-Wilayah harus mengikuti hukum, pemikiran dan pandangan politik yang diadopsi oleh Hizb, dengan tetap menjaga kedalaman rinciannya dan melakukan pengkajian yang mendalam ketika menguraikan rincian-rinciannya. Qiyadah dalam hal ini akan melakukan revisi terhadap kesalahan-kesalahan yang berkaitan dengan rincian tersebut yang berasal dari Lajnah al-Wilayah. Nasyrah-nasyrah maupun satu eksemplar surat kabar yang dikeluarkan oleh Lajnah al-Wilayah terlebih dahulu harus dikirimkan (kepada Lajnah al-Qiyadah), sebagaimana kewajiban Lajnah al-Wilayah mengirim laporan setiap dua minggu sekali. Setiap utusan dari Lajnah al-Wilayah wajib mendatangi Lajnah al-Qiyadah dua bulan sekali. Semua itu bertujuan untuk menjamin kesatuan aktivitas, kedalaman dan kesahihannya.
Kelima, Pada fase ini, Lajnah al-Wilayah wajib melakukan seluruh aktivitasnya dengan memfokuskan kualitas hizbiyin dan meningkatkan hubungan dengan umat. Dari sini dapat dijabarkan menjadi dua: Pertama, berkaitan dengan Hizb. Kedua, yang berhubungan dengan Hizb dan umat.
Yang berkaitan dengan tubuh Hizb, peningkatan kualitas individu harus lebih diperhatikan, dibandingkan dengan kuantitas, sehingga mempunyai akar yang kuat dan berkemampuan dalam menunaikan tugas. Maka tidak ada tempat di dalam Hizb setelah hari ini anggota-anggota kehormatan ataupun anggota-anggota pendukung. Setiap hizbiy wajib memberikan halaqah atau mendapatkan halaqah, menghadiri halaqah bulanan serta melakukan tugas-tugas Hizb yang dibebankan kepadanya. Hizb tidak menyesal (bersikap tegas-pen) terhadap orang yang mengabaikannya, karena merekalah yang sebenarnya tidak lagi mempedulikan diri mereka sendiri. Sebab bagaimana mungkin mereka tetap tidur lelap setelah mereka dibangunkan, sementara mereka seakan-akan nyaris disambar kobaran api dan berada di tengah-tengah medan pertempuran.
Sedangkan yang berhubungan dengan Hizb dan umat, Hizb harus menjaga agar tidak berseberangan dengan umat. Umat harus diberikan pandangan yang berbeda dengan pandangannya secara tegas dan penuh keberanian. Namun harus diperhatikan, jangan sampai umat diberi pandangan dengan menggunakan uslub yang dapat menimbulkan interpretasi bahwa Hizb telah mengumumkan permusuhan terhadap umat. Jadi gunakan (uslub) yang hakiki, bahwa Hizb sebenarnya bertujuan untuk menyelamatkan dan membangkitkan umat, serta meningkatkan martabatnya.
Keenam, Lajnah al-Wilayah juga wajib menjaga pemahaman dan aplikasi kaidah yang diadopsi oleh Hizb, yaitu:

ÇáÕáÇÍíÉ ÝÑÏíÉ æÇáÚãá ÌãÇÚí

“Otoritas itu bersifat individual sedangkan pelaksanaannya bersifat kolektif.”
Untuk melaksanakan kaidah ini, satu tugas harus dilimpahkan kepada satu orang yang memiliki wewenang dan tanggungjawab. Apabila diberikan pada sekelompok orang, maka tanggungjawab itu akan terbagi-bagi sesuai dengan pembagian wewenangnya. Dengan cara seperti itu akan terbuka celah-celah kelalaian. Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut juga wajib dituntut menjalankannya dengan kemampuan maksimal. Dan kekuatan itu berada di tangan jamaah, bukan di tangan individu. Jadi, yang melakukannya adalah seluruh Lajnah al-Wilayah, namun yang menjadi pengendali operasional langsung adalah mu’tamad saja. Dia bisa meminta bantuan siapa saja dari anggota Lajnah al-Wilayah, Lajnah al-Mahaliyah ataupun Hizbiy sesuai dengan keinginannya. Oleh karena itu, mu’tamad harus tetap berada di ibu kota. Tidak boleh meninggalkannya, kecuali karena tujuan yang mendesak yang menyangkut keperluan pribadinya atau untuk keperluan dakwah. Sedangkan anggota Lajnah al-Wilayah harus melakukan kunjungan kedaerah-daerah sebagai kunjungan yang telah dirancang dan ditetapkan serta wajib dilakukannya.
Inilah khiththoh untuk terjun ketengah-tengah masyarakat, dan inilah uslub pelaksanaan operasionalnya. Tatkala menjalankan aktifitas harus dipahami dengan gamblang, bahwa masyarakat yang kita masuki adalah masyarakat yang tidak Islami. Pemikiran yang mendominasi masyarakat adalah pemikiran kufur, sehingga tatkala terjun ketengah-tengah masyarakat hakekatnya adalah terjunnya Islam melawan kekufuran. Sejak kekufuran diterapkan di tengah-tengah masyarakat, para penguasa, politikus dan kaki tangan mereka yang mengontrol masyarakat akan selalu memerangi masuknya Islam di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, mereka akan menggunakan berbagai cara. Wajar kalau tidak ada gerakan Islam manapun yang berhasil masuk di tengah-tengah masyarakat sejak lenyapnya kekuasaan Daulah Islamiyah. Gerakan-gerakan Islam tetap berada di luar masyarakat, sehingga masyarakat tetap jauh dari Islam. Hizb Tahrir adalah gerakan Islam yang pertama kali secara sungguh-sungguh berusaha menerjuni masyarakat sejak lenyapnya kekuasaan Islam. Masukya Hizb Tahrir di tengah-tengah masyarakat akan memenangkan Islam atas kekufuran. Tidak mudah bagi imperialis kafir, penguasa dan politikus melihat kembali Islam masuk ditengah-tengah masyarakat setelah mereka mengeluarkannya dari masyarakat. Karena itu, mereka akan mengunci dan memalang pintu masyarakat, sehingga mereka dapat menghalangi masuknya Hizb Tahrir. Tatkala Hizb Tahrir telah berhasil menghancurkan kunci dan palang pintu tadi, hingga berhasil membuka pintu masyarakat atau dibukakan (sendiri oleh masyarakat), maka mereka (para imperialis kafir, penguasa dan politikus yang menjadi kaki tangan mereka-pen) pasti akan melakukan usaha untuk menciptakan bias (kesamaran-pen) di tengah-tengah masyarakar sehingga masyarakat tidak akan kembali lagi menjadi masyarakat Islam. Pada akhirnya mereka dengan amat mudah dapat mengusir Islam dari tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian tatkala berupaya terjun ke tengah-tengah masyarakat maupun setelahnya harus dibalut dengan kesadaran yang sempurna.. Dan tetap secara kontinu menghancurkan kunci dan penghalang, sekaligus mencegah masyarakat supaya tidak menjadi bias (samar terhadap Islam-pen)
Sedangkan yang dimaksud dengan artijah (kunci grendel-pen) dan mazalij (palang pintu-pen) adalah standardisasi dasar yang berkaitan dengan politik dan hukum syara’. Tatkala masyarakat didominasi standardisasi ini, kemudian ada opini umum lain yang berseberangan dengan pemikiran-pemikiran sebelumnya, maka upaya apapun untuk memasuki masyarakat menjadi tidak mungkin selama standar-standar ini masih mendominasi pemikiran masyarakat, baik dominasinya itu diperoleh melalui cara yang jujur atau dusta, dan tanpa diperhatikan lagi apakah standardisasi itu baik atau rusak. Masyarakat tetap terkunci dari pemikiran-pemikiran Islam, disebabkan adanya pengunci dan penghalang tadi. Sehingga untuk terjun ke tengah-tengah masyarakat tidak mungkin kecuali dengan menggunakan pemahaman, standardisasi dan qana’ah ini saja. Apabila dirancang aktifitas diplomatik, lalu pemahaman, standardisasi dan qana’ah ini dijadikan sebagai sarana untuk memasukkan pemikiran-pemikiran Islam, maka dapat dipastikan kemustahilan masuknya Islam, malahan Islam makin dijauhkan dari masyarakat. Akhirnya masuknya seseorang ketengah-tengah masyarakat dengan menggunakan standardisasi yang tidak Islami, menekankan masyarakat yang sekarang dan menjauhkan Islam dari masyarakat. Dengan demikian, standar-standar tersebut harus dihancurkan dengan pendekatan akidah (uslub ‘aqa’idi), sampai hancur lebur. Pada saat itulah pintu masyarakat akan terbuka, dan pertarungan pemikiran antara Islam dengan kafir akan terus berlanjut. Jadi, langkah pertama untuk memasuki masyarakat adalah dengan menghancurkan standar-standarnya, sebelum menghancurkan yang lainnya, terutama yang menjadi standar-standar dasar. Contoh-contoh pemikiran yang menjadi pengunci dan penghalang antara lain : Nasionalisme Arab, Gerakan Non-Blok, Patriotisme, Sosialisme, Demokrasi, Figuritas, Elastisitas Islam, Penggunaam hukum yang dimiliki umat lain dan Politik bukan Agama dan standar-standar lain, yang dianggap sebagai asas dan menjadi standar sekaligus dasar pengambilan pemikiran-pemikiran cabang. Semua itu wajib dihancurkan, kekeliruannya harus dibongkar dengan serangan yang keras sehingga masuk ke dalam masyarakat dengan mudah.
Ini dilihat dari aspek membuka pintu, sedangkan dari aspek memasukinya, sama sekali tidak dapat ditolerir kecuali yang masuk hanya Islam murni, yang bersih dari semua jenis kotoran. Sebab –disisi lain- orang-orang kafir, penguasa dan politikus berusaha memasukkan pemikiran yang tidak Islami ke dalam masyarakat dengan mengatasnamakan Islam, sehingga mereka mewujudkan kesamaran di tengah-tengah masyarakat terhadap Islam. Oleh karena itu, kaum muslimin harus mempunyai kesadaran yang sempurna terhadap hal ini. Kaum muslimin berkewajiban memerangi semua bentuk pemikiran yang bertentangan dengan Islam, sebagaimana halnya kaum muslimin menghabisi setiap pemikiran kufur. Sebab pemikiran yang bertentangan dengan Islam itu jelas-jelas kufurnya.
Hanya saja serangan ini ditujukan terhadap pemikiran-pemikiran politik, hukum, atau terhadap pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan seluruh bentuk interaksi masyarakat yang seiring pembahasannya dengan pengurusan negara pada saat dikeluarkannya pemikiran tersebut atau ketika sedang terjadi pembahasan. Misalnya saja pembahasan tentang larangan poligami, kebolehan koperasi, turut terlibat dalam kementrian, Mendekatkan hubungan antara kepala negara-kepala negara yang ada di dunia Islam agar kedudukan mereka dapat dipertahankan, pan Islamisme, peningkatan taraf hidup, penanaman modal asing di dalam negeri dan pemikiran-pemikiran yang lain. Semua ini merupakan pemikiran yang tidak Islami, yang disuntikkan dengan label Islam, atau –sekurang-kurangnya- tidak bertentangan dengan Islam. Seluruh bentuk-bentuk pemikiran tadi harus diserang dan diperangi hingga tidak diberikan kesempatan sama sekali terhadap pemikiran-pemikiran tersebut memasuki masyarakat, agar tidak terjadi upaya pemelintiran Islam di tengah-tengah masyarakat.
Sedangkan pemikiran Islam yang berbeda dengan apa yang diadopsi oleh Hizb Tahrir harus dijelaskan kekeliruannya. Meskipun –pemikiran jenis ini- tidak diserang, akan tetapi harus dijelaskan bahwa hal itu merupakan pandangan yang Islami, hanya saja dalilnya lemah. Misalnya saja, ada seorang mujtahid yang tidak membolehkan Khalifah selain keturunan Quraisy, atau dari kalangan Ahl al-Bait. Ada juga yang berpendapat, bahwa wanita tidak diboleh menjadi qadhi, atau pendapat bahwa emas dan perak boleh ditimbun, asalkan zakatnya tetap dikeluarkan, atau juga yang pendapat, bahwa menyewakan lahan untuk pertanian dibolehkan, dan sebagainya. Pendapat-pendapat ini, semuanya merupakan pendapat yang Islami, dan tidak dilarang masuk di tengah-tengah masyarakat. Sebab pendapat-pendapat tersebut tidak akan melahirkan kesamaran di tengah-tengah masyarakat, karena memang pendapat-pendapat itu Islami, sebagaimana pandangan-pandangan yang diadopsi oleh Hizb Tahrir yang bersandar kepada dalil atau syubhah dalil. Jadi yang berkaitan dengan pemikiran-pemikiran yang Islami ini cukup dijelaskan kesalahannya saja.
Di dalam tulisan-tulisannya, nasyroh dan diskusi-diskusinya, Hizb Tahrir secara mutlak tidak akan membawa pandangan apapun yang bertentangan dengan pandangan yang telah diadopsinya. Namun demikian, boleh saja Hizb Tahrir menyebarluaskan pandangan-pandangan yang belum diadopsinya. Seperti pemahaman yang terkandung dalam khazanah fiqh atau hukum, tanpa perlu disandarkan pada referensinya, cukup dengan menyertakan dalilnya saja. Ini dari sisi pandangan yang disebarluaskan oleh Hizb. Sedangkan terhadap penyebarluasan pandangan-pandangan yang Islami, namun bukan berasal dari Hizb dan bertentangan dengan pandangan Hizb, maka cukup dengan mendiskusikannya saja jika memang perlu dibantah. Bila tidak perlu ya dibiarkan saja. Dengan semua cara di atas, Hizb telah mencegah terjadinya kesamaran ditengah-tengah masyarakat yang dikhawatirkan akan terjadi. Peperangan antara Islam dengan kekufuran terus berlangsung, hingga kekufuran itu tumbang, dan Islam memperoleh kemenangan.

Muharram 1377 H
Juli 1958 M

TITIK TOLAK PERJALANAN DAKWAH HIZBUT TAHRIR

TITIK TOLAK

PERJALANAN DAKWAH

HIZBUT TAHRIR

Hizbut Tahrir telah berhasil melalui tahapan dakwahnya yang paling rawan dan fase awalnya yang paling sulit dengan gemilang. Hizb tengah meniti jalannya sebagai sebuah partai yang berkomitmen untuk terjun sebagai subjek di tengah masyarakat, sekaligus sebagai pembangkit revolusi pemikiran dan perasaan secara menyeluruh. Hizb juga tengah berjalan menuju titik tolak perjalanan dakwahnya (nuqthatul inthilaq). Dengan demikian, Hizb harus menyeru umat dan melakukan aktivitas di tengah-tengah masyarakat. Meskipun titik tolak tersebut akan dijumpai Hizb secara alami sesuai perjalanan dakwahnya, akan tetapi titik tolak tersebut sangatlah rawan dan sulit serta memerlukan usaha keras agar secara pasti dapat menghantarkan tercapainya al inthilaq (bertolaknya dakwah). Usaha ini sangat memerlukan kecermatan, sebab usaha ini harus dilaksanakan dalam berbagai macam kondisi yang ada di tengah masyarakat. Keberhasilan Hizb melakukan usaha ini dengan gemilang, merupakan faktor yang akan membawa Hizb menuju tahapan nuqthatul inthilaq.

Pada tahapan ini (nuqthatul inthilaq), Hizb akan berhadapan langsung dengan orang-orang yang banyak berbuat zhalim, para penganut tsaqafah asing, serta kelompok-kelompok yang menjadi kroni penguasa. Hizb pada dasarnya tidak ingin berhadapan dengan mereka, tidak bermaksud berkonfrontasi dengan mereka, atau tidak menganggap mereka sebagai musuh. Hizb sebenarnya hanya ingin berhadapan dengan pihak penjajah yang kafir, sebab dialah satu-satunya musuh umat.

Pada tahapan ini, Hizb juga akan berhadapan dengan organisasi-organisasi lain dengan pelbagai bentuk keorganisasiannya. Namun Hizb tidak ingin berkonfrontasi dengan mereka, juga tidak memfokuskan perhatiannya kepada mereka. Sebab meskipun organisasi tersebut merupakan problem bagi masyarakat, namun secara alami problem itu akan bisa diselesaikan dengan adanya penetrasi dakwah di tengah-tengah umat.

Pada tahapan ini, meskipun Hizb bersungguh-sungguh melakukan usaha untuk mengembangkan dirinya secara terus-menerus, membangun institusinya dengan hati-hati, serta menjernihkan suasana imannya dengan sejernih-jernihnya, namun Hizb harus tetap melakukan 4 (empat) aktivitas dakwahnya. Hizb harus tetap melanjutkan kegiatan berikut : 1) pembinaan intensif, 2) pembinaan umum, 3) mengadopsi kepentingan-kepentingan umat (tabanni mashalih al ummah), dan 4) membongkar strategi penjajah kepada masyarakat luas.

Agar Hizb mampu menghadapi masyarakat dan melakukan tugas-tugas yang dipikulnya, Hizb harus menyadari keadaan masyarakat dan memahami berbagai situasi dan kondisi masyarakat secara mendalam. Memahami masyarakat bukanlah tugas pemimpin Hizb saja, melainkan menjadi tugas Hizb secara keseluruhan. Sebab Hizb merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Bahkan lebih dari itu, Hizb merupakan satu kesatuan pemikiran dan perasaan yang telah mengalami kristalisasi pemikiran dan perasaan, dikarenakan kedalamannya dalam berpikir dan kepekaannya dalam merasakan sesuatu.

Ketika memasuki titik tolak perjalanan dakwah (nuqthatul inthilaq), Hizb akan menghadapi hal-hal berikut :

1. Meskipun umat Islam seluruhnya menyadari benar bahwa mereka berada dalam kondisi yang buruk dan membutuhkan kehadiran pemimpin yang ikhlas, penuh kesadaran, dan mampu merasakan keadaan mereka, namun kesadaran tersebut masih kabur dan perasaan mereka pun masih mengambang, timbul-tenggelam. Pemikiran umat masih lemah dan perasaan mereka pun tidak peka. Mereka masih didominasi oleh berbagai pemikiran dan pandangan yang campur aduk, serta dicengkeram oleh berbagai perasaan yang simpang-siur yang nyaris saling bertentangan satu sama lain. Jadi umat berada pada taraf pemikiran dan perasaan yang rendah.

2. Masyarakat di negeri-negeri Islam adalah masyarakat yang tidak Islami. Masyarakat ini telah dikendalikan oleh pemikiran Kapitalisme-Demokrasi, dikuasai oleh peradaban Barat, diterapkan di dalamnya sistem Kapitalisme-Demokrasi, serta didominasi oleh perasaan patriotisme, nasionalisme, dan perasaan spiritual pasturian (kultusisme). Manusia yang hidup di dalamnya adalah orang-orang Islam, yang memeluk Aqidah Islamiyah berdasarkan naluri (wijdan). Dalam urusan sosialnya (hubungan pria-wanita), mereka masih cenderung mengaturnya dengan Islam.

3. Meskipun Dunia Islam kosong dari semua gerakan politik, bahkan nyaris tidak ada sama sekali aktivitas politik, namun penjajah telah meletakkan Dunia Islam dalam situasi dan kondisi yang memunculkan aktivitas-aktivitas yang menyerupai aktivitas politik ¾yang kemudian disebut aktivitas politik¾ dan memunculkan berbagai organisasi dengan beragam bentuknya, yang kemudian sebagiannya disebut organisasi politik. Inilah yang menyebabkan masyarakat terkecoh sehingga mereka menduga aktivitas tersebut merupakan aktivitas politik dan organisasinya merupakan organisasi politik. Dugaan inilah yang membuat masyarakat berada di bawah penguasaan organisasi-organisasi tersebut. Dugaan itu pula yang membuat mereka menjadi ajang aktivitas-aktivitas organisasi tersebut.

4. Organisasi-organisasi yang berupa partai sesungguhnya dapat dianggap sebagai bentuk organisasi paling tinggi yang ada di masyarakat. Meskipun demikian, organisasi-organisasi kepartaian tersebut tidak mempunyai taraf pemikiran dan politik yang lebih tinggi daripada taraf pemikiran dan politik masyarakat. Sebab, organisasi-organisasi itu masih hidup pada taraf yang lebih rendah daripada taraf berpikir yang normal (at tafkir al‘adi), bahkan tidak sampai ke taraf berpikir yang normal. Oleh karena itu, organisasi-organisasi itu belum sampai ke taraf organisasi partai politik dalam pengertian politik yang sesungguhnya, bahkan belum sampai ke taraf organisasi partai politik menurut istilah politik kontemporer. Ini merupakan hal yang umum terjadi di hampir seluruh negeri-negeri Islam.

5. Sesungguhnya umat belum memahami benar pentingnya organisasi politik yang berbasis ideologi, meskipun mereka sudah mampu merasakan urgensinya. Sehingga, umat terbiasa dengan organisasi-organisasi yang ada saat ini, meskipun mereka menampakkan kemarahan terhadapnya, merasa bosan terhadap cara-cara yang dikembangkannya, serta tidak menaruh harapan untuk meraih keberhasilan dari metode yang ditempuhnya. Karena umat tidak memahami pentingnya organisasi yang berbasis ideologi, tidak aneh jika umat secara keseluruhan nampak terpengaruh dengan format-format yang menonjol dalam organisasi-organisasi tersebut. Bahkan mereka mengikuti format-format ini dalam aktivitasnya sekalipun mereka tidak merasakan kepuasan.

6. Format-format yang bercorak patriotisme, nasionalisme, dan kerohanian merupakan format-format yang menonjol dalam organisasi-organisasi yang ada di Dunia Islam. Format-format tersebut merupakan format yang dominan bagi seluruh bangsa dalam tubuh umat Islam. Bahkan format-format itu telah mencengkeram pemikiran umat secara keseluruhan. Karena itu, banyak orang yang perasaannya telah terpatri dalam kondisi seperti ini, dan telah terwujud suatu kemantapan sehingga mereka tidak tertarik dengan format yang lain. Padahal mereka menyadari ketidakmampuan organisasi-organisasi tersebut untuk berkarya serta menyadari pula bahaya-bahayanya. Akibatnya, suatu bangsa akan mempertahankan institusinya sebagai bangsa, bukan sebagai umat Islam, meskipun mereka tetap mempertahankan Islam dan berusaha menjaganya dalam aspek kerohanian dan sosial (hubungan pria-wanita).

7. Umat merupakan bahan mentah (dasar) yang akan terformat mengikuti pemikiran yang menguasainya, selama peraturannya tidak diterapkan atas mereka. Umat Islam sekarang ini sedang ditarik oleh berbagai organisasi dan pemikiran yang beragam. Padahal, kekuatan pemikiran yang dominan mempunyai pengaruh yang besar pada diri umat, yang bahkan lebih kuat dibanding kekuatan apa pun. Karena itu, umat akan tertarik pada organisasi yang mengemban pemikiran yang sedang dominan di tengah umat. Secara pasti, pemikiran-pemikiran ini akan mendominasi segalanya. Akibatnya, metode organisasi partai atau organisasi masyarakat yang dominan itulah yang menjadi tradisi umat. Dan wajar pula, jika aktivitas yang menjadi kebiasaan kelompok-kelompok tersebut menjadi sesuatu yang biasa pula bagi umat. Karena itu, umat akan selalu memenuhi ajakan yang muncul dalam demonstrasi, protes massal, intimidasi, serta pidato-pidato yang emosional, meskipun umat menyadari ketumpulannya. Karena itu, umat harus dipersiapkan sebelum melakukan tindakan.

8. Menyiapkan umat berarti menyiapkan pemikiran dan perasaannya. Ini berarti mempengaruhi umat untuk berpikir secara mendalam dan memerangi cara berpikirnya yang dangkal. Juga berarti mempengaruhi perasaannya dan menajamkan kepekaannya, menjadikan kerinduannya untuk mengemban dakwah Islam melebihi kerinduannya kepada yang lain, serta menjadikan Islam sebagai satu-satunya pusat kewaspadaannya yang alami. Ini sama halnya dengan memerangi ketidakpedulian yang merajalela di tengah umat, dan menggerakkan berbagai peristiwa yang dapat menyadarkan umat dari tidurnya serta membuang jauh-jauh ketidakpedulian dari dalam dirinya. Semua ini mengharuskan agar tsaqafah Hizbut Tahrir menjadi acuan serta mendominasi di tengah-tengah masyarakat, dan mengharuskan pula agar tsaqafah Islam secara umum menjadi satu-satunya tsaqafah yang menguasai semua orang.

9. Menyiapkan umat untuk mengemban dakwah Islam berarti menyiapkan umat untuk melakukan aktivitas politik berasaskan Islam. Ini tidak mungkin terwujud dengan sempurna, jika pemikiran-pemikiran Islam belum dominan dan jika metode politik berdasarkan persepsi Islam masih belum jelas dan belum mendominasi semua jenis pemikiran yang lain. Tentu saja hal ini mengharuskan Hizb untuk menjelaskan pemikiran-pemikiran Islam dalam tsaqafahnya, serta menjelaskan metode politiknya bukan hanya dengan menjelaskan tsaqafahnya, namun juga dengan menerapkan metode tersebut pada berbagai peristiwa sehari-hari yang terjadi di dunia, baik yang berhubungan dengan politik internasional maupun politik di negeri-negeri Islam. Ini menuntut kecepatan aktivitas politik yang terwujud nyata dalam kegiatan mengadopsi kepentingan umat (tabanni mashalih al ummah) serta membongkar strategi-strategi penjajah.

10. Karena Hizb mengemban dakwah Islam sebagai qiyadah fikriyah (aqidah/pemikiran dasar yang memandu pandangan hidup penganutnya) yang melahirkan peraturan kehidupan, dan menjadikan politik sebagai satu-satunya metode untuk mengemban dakwah, maka ada 3 (tiga) kelompok yang secara pasti akan menghadang jalan dakwahnya, yaitu kelompok-kelompok yang menjadi kroni penguasa, orang-orang zhalim, serta para penganut tsaqafah asing. Adalah merupakan strategi penjajah, memposisikan mereka terhadap dakwah sebagai tembok yang menghalangi jalan, dengan tujuan memalingkan dakwah dari tujuan yang ingin dicapai, hingga penjajah masih mempunyai waktu untuk menjajah. Penjajah mengetahui bahwa tembok itu tidak akan dapat menghalangi tercapainya tujuan dakwah, namun penjajah tetap meletakkannya semata-mata agar dapat memalingkan dakwah. Karena itu, wajib dihindari sejauh mungkin benturan dengan tembok penghalang ini dan juga dengan semua tembok yang ada. Sebab, tembok-tembok tersebut wajib digunakan untuk membangun benteng, bukan untuk menjadi penghalang jalan. Dengan kata lain, ketiga kelompok tersebut wajib dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah, atau setidaknya perlu dipahami dan menjadi jelas bagi mereka maupun semua pihak, bahwa ketiga kelompok itu adalah alat penjajah kafir, sehingga dengan demikian Hizb dapat melenyapkan pengaruhnya, jika tidak mampu mengubah posisinya.

11. Menjauhi benturan dengan tembok atau ketiga kelompok di atas bukan berarti tidak terjun menghadapi mereka dalam pertempuran pemikiran. Prinsip ini maksudnya adalah tidak terlibat dalam benturan secara lisan maupun fisik dengan ketiga kelompok tersebut dalam kondisi apa pun. Sedangkan pertempuran pemikiran antara dakwah dengan seluruh pemikiran yang lain, sudah pasti akan terjadi, yang tidak mungkin tiada meskipun hanya sekejap. Sebab pertempuran pemikiran itulah yang akan menentukan nasib sekaligus menghancurkan seluruh pemikiran yang ada.

12. Senjata satu-satunya yang dimiliki Hizb adalah Islam. Tidak dibenarkan menggunakan senjata yang lain. Aspek pemikiran inilah yang oleh Hizb ¾sebagai satu kesatuan¾ wajib dijadikan sebagai senjata. Sebab jika Hizb dapat membebaskan dirinya dari realitas buruk yang ada dan mengubah berbagai pemikiran, Hizb akan dapat mempengaruhi masyarakat serta menarik mereka untuk memeluk ideologi Hizb dan mendukung Hizb pada waktu yang sama. Demikian pula, jika Hizb menghubungkan pemikiran-pemikirannya ¾untuk memecahkan problem yang ada¾ dengan peristiwa-peristiwa keseharian yang terjadi, Hizb akan dapat menciptakan pengaruh dalam benak masyarakat.

Sebagai contoh, tidak boleh menyamakan Majelis Ummat dengan Parlemen, atau menyamakan Khalifah dengan Presiden. Sebab, ini akan menjauhkan gambaran tentang pemerintahan Islam. Sebaliknya Hizb wajib membebaskan dirinya dari realitas yang ada dengan menjelaskan Majelis Ummat dan menerangkan Khilafah sebagaimana adanya dalam hukum-hukum syara’ agar dalam benak masyarakat muncul gambaran pemerintahan Islam. Begitu juga tidak boleh mengadopsi ide Keadilan Sosial maupun ide Perdamaian Dunia, atau pemikiran-pemikiran non-Islam yang lainnya.

Contoh lain, ketika seorang muslim melihat ada seseorang yang mengunggulkan Blok Barat ketimbang Blok Timur dengan alasan Blok Barat adalah Ahli Kitab, maka pandangannya harus segera diarahkan bahwa ideologi Kapitalisme tidak identik dengan agama Nasrani, dan bahwa Blok Barat secara keseluruhan kehidupannya diatur oleh ideologi Kapitalisme, bukan oleh agama Nasrani. Jadi dalam hal ini tidak ada hubungannya dengan pembahasan Ahli Kitab. Apabila seorang muslim melihat seseorang berpendapat bahwa tersebarnya praktik dosa besar, seperti minuman keras, berzina, atau mencuri adalah akibat hilangnya akhlak, maka pandangannya harus segera diarahkan bahwa itu semua adalah akibat tidak diterapkannya had syar’i (sanksi yang ditetapkan syara’), di mana keharaman-keharaman yang ditetapkan oleh Allah tidak akan dapat dijaga kecuali dengan adanya penerapan had syar’i yang ditetapkan Allah.

Meskipun mengemban ideologi Islam tidak akan terwujud kecuali jika dilaksanakan secara sempurna, yaitu mengemban fikrah dan thariqahnya, akan tetapi, secara khusus thariqah wajib diemban dengan tujuan untuk diterapkan, serta wajib dijelaskan kepada semua orang. Sebab kebanyakan kesalahan dan kekaburan yang menimpa gerakan-gerakan terdahulu dan juga menimpa kebanyakan orang, adalah pada aspek thariqahnya.

13. Memberikan perhatian yang tinggi pada pemantapan persepsi Hizb tentang Islam dan politik merupakan perkara yang sangat penting. Karena itu, pembinaan intensif dalam halaqah wajib disertai dengan pembinaan umum dalam rangka untuk mencabut dominasi pemikiran yang berkembang di tengah masyarakat, untuk kemudian dihancurkan sampai ke akar-akarnya, dan selanjutnya digantikan dengan pemikiran Islam. Ini mengharuskan Hizb untuk memfokuskan kegiatannya ¾selain aspek politik¾ dalam mendorong syabab Hizb yang mempunyai pemahaman dan kesadaran untuk memasuki seluruh kalangan masyarakat di segala aspek kehidupan, serta selalu mengadakan kontak dengan masyarakat dan konsisten menjaga kontak ini.

14. Perhatian yang tinggi pada pemantapan persepsi-persepsi yang diadopsi oleh Hizb tentang Islam dan politik, mengharuskan para pengemban dakwahnya berstatus sebagai hizbiyin (anggota Hizb). Karena itu, setiap orang yang sedang belajar (daaris), meskipun ide Hizb telah berinteraksi dengannya, tetap diasumsikan belum mengetahui makna organisasi politik dan belum memahami makna hubungan kepartaian (‘alaqah hizbiyah). Maka dari itu, wajib dicurahkan perhatian yang cukup untuk menjelaskan hubungan kepartaian tersebut dalam proses pembinaan dan dalam setiap kesempatan hingga daaris tersebut menjadi bagian dari Hizb. Ini hanya mungkin terwujud setelah dia meleburkan diri dengan Hizb, baik dari segi fikriyah (pemikiran) maupun nafsiyah (perasaan). Hubungan pemikiran wajib dijelaskan, kemudian hubungan kepartaian, sehingga hubungan aktivitas dalam dakwah nampak dengan jelas dan alami, dan penyampaian pemikiran serta kegiatan mengemban dakwah dapat berjalan dengan sempurna. Dengan cara itulah, pengaruh secara total akan berhasil diwujudkan, demikian pula aktivitas kepartaian akan berjalan secara istimewa.

15. Setiap aktivitas harus mempunyai maksud (target) yang tergambar jelas sebelum dilaksanakan. Maksud tersebut merupakan bagian dari suasana keimanan. Sebab, suasana keimanan ini terbentuk dari keimanan kepada ideologi, yaitu Islam, serta terbentuk dari pedoman perbuatan, yaitu dibarenginya pemikiran dengan perbuatan, yang kedua-duanya diwujudkan untuk mencapai tujuan tertentu. Bahwa pemikiran dan perbuatan harus mempunyai tujuan, merupakan ungkapan lain dari pernyataan bahwa setiap aktivitas wajib mempunyai maksud. Pemahaman ini wajib dimiliki oleh Hizb sebagai satu kesatuan, dan wajib dimiliki oleh setiap anggota Hizb. Hizb harus memelihara aspek ini dan mewujudkannya pada semua pihak.

16. Menyerah pada nasib dan situasi yang ada, atau dengan kata lain menerima situasi yang ada secara kebetulan, oleh Hizb atau anggota-anggotanya, berarti suatu stagnasi yang akan menyebabkan terjadinya kemunduran. Karena itu, harus selalu ada upaya untuk berpikir mengkaji apa yang telah dilakukan, memikirkan jalan yang telah ditempuh untuk mewujudkannya, serta memikirkan apa yang seharusnya dilakukan. Tidak dibenarkan hanya menunggu kedatangan situasi dan akibat-akibat yang dibawanya, sebaliknya Hizb harus menciptakan serta memanfaatkan situasi yang terjadi.

Yang dapat menghindarkan diri dari sikap menyerah pada nasib dan bergantung pada situasi adalah adanya penetapan maksud dari suatu aktivitas, kontinuitas berpikir dalam dakwah serta ketekunan dalam menjalankan dakwah, dan tidak adanya kecenderungan pada situasi yang terjadi secara kebetulan tanpa mengerahkan usaha apa pun. Hubungan sebab-akibat juga wajib mendominasi pemikiran, di samping meniadakan kecenderungan pada apa yang dirasakan manusia secara internal, sekalipun perasaan tersebut adalah benar.

17. Hizb wajib menyadari kesulitan-kesulitan yang ditemuinya dan yang akan dihadapinya. Hizb wajib memahami situasi dari aktivitas yang sedang dilakukannya, maupun situasi yang melingkupinya ketika hendak melakukan salah satu aktivitas. Hizb juga wajib memahami taktik gerak secara mendalam, termasuk aktivitas-aktivitas yang layak atau tidak layak bagi taktik tersebut. Memang, taktik merupakan cara (uslub) yang ditentukan oleh jenis aktivitas. Akan tetapi taktik dapat berbeda-beda dan berubah-ubah sesuai situasi-kondisi yang ada yang kadang belum pernah diprediksi. Karena itu, taktik harus selalu dinamis dan berubah.

18. Hizb wajib memahami kekuatan yang dimilikinya dengan tepat, serta memahami sejauh mana pengaruhnya terhadap keadaan yang diciptakannya dan terhadap kesadaran yang diwujudkannya sebelum Hizb melaksanakan aktivitas, baik pengaruh terhadap anggota-anggota Hizb maupun terhadap masyarakat. Sebab dengan memahami semua itu, Hizb akan dapat mengetahui bagaimana menentukan kadar tanggungjawab yang harus dipikulnya dengan tepat. Karena jika tanggungjawab yang harus dipikulnya diukur lebih besar daripada kadar yang sesungguhnya, Hizb akan terancam bahaya kelemahan. Sebaliknya jika diukur lebih kecil daripada kadar yang sebenarnya, Hizb akan terancam bahaya kehancuran. Oleh karena itu, mengukur kadar tanggungjawab secara tepat merupakan suatu keharusan.

19. Hizb harus menyadari bahwa tahap yang sedang dilalui oleh umat Islam adalah tahap revolusi pemikiran dan perasaan, yang akan dapat mendorong kaum muslimin mengemban qiyadah fikriyah mereka secara internasional ke seluruh dunia untuk mengalahkan seluruh qiyadah fikriyah lain dalam segala aspek kehidupan. Hizbut Tahrir harus menyadari bahwa dia wajib memikul tugas tersebut. Karena itu, aspek pemikiran tetap menjadi asas kegiatan Hizb. Aspek pemikiran ini (yang harus selalu dibarengi dengan aktivitas politik) adalah tumpuan utama kegiatan Hizb. Maka dari itu, Hizb harus selalu mencermati kondisi politik internasional dan kondisi politik di negeri-negeri Islam, terutama kondisi politik di tempat dia berkiprah. Hizb juga harus berusaha untuk menjadikan pemikiran Islam sebagai satu-satunya bahan diskusi dan bahan kajian di seluruh negeri-negeri Islam. Di samping itu Hizb juga harus selalu mencermati pemikiran yang berkembang di tengah masyarakat di negeri-negeri Islam.

20. Hizb harus selalu sadar dan memiliki kepekaan yang tinggi terhadap masyarakat, dan selalu mencatat apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh masyarakat, sehingga Hizb dapat mengetahui sejauh mana pengaruh tsaqafahnya, penetrasi pemikiran yang disebarluaskannya, perasaan yang dibangkitkannya, serta perubahan masyarakat dari dingin menjadi panas dan dari panas menjadi mendidih. Hizb harus mengetahui semua itu agar Hizb dapat menancapkan tsaqafahnya ke dalam jiwa masyarakat. Sebab tsaqafah tersebut bak kayu bakar yang dibakar di tengah masyarakat yang selanjutnya akan mengalirkan panas dan mengubah masyarakat. Hizb harus mengetahui semua itu agar mampu mengangkat derajat umat mencapai taraf dimana mereka memahami secara sadar dan mempunyai perasaan secara benar, bahwa keberadaannya di dunia adalah demi Islam semata dan demi mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia, dan bahwa Hizbut Tahrir adalah partai yang sedang melaksanakan tugas ini.

21. Metode menilai pemikiran dan perasaan masyarakat sesungguhnya sangat mudah, yaitu dengan mencermati pengaruh yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa politik terhadap berbagai pemikiran,yaitu apakah suatu peristiwa politik dapat melahirkan pemikiran baru atau hanya sekadar mengukuhkan pemikiran lama? Selain itu, juga dengan cara mencermati pengaruh yang ditimbulkan oleh peristiwa politik terhadap perasaan, yaitu apakah suatu peristiwa politik dapat melahirkan perasaan baru atau hanya mengukuhkan perasaan lama semata? Yang dimaksud dengan perasaan di sini adalah reaksi naluriah yang muncul seperti gembira, sedih, rela, dan marah. Ini metode untuk pemikiran dan perasaan yang muncul, serta pemikiran dan perasaan yang dikukuhkannya. Sedangkan metode untuk pemikiran dan perasaan yang telah ada, caranya dengan mencermati topik-topik yang menjadi bahan perbincangan masyarakat, serta mencermati perasaan yang muncul pada masyarakat. Misalnya, perbincangan kaum muslimin dewasa ini tentang koperasi dan perseroan terbatas (PT), padahal seharusnya mereka membicarakan tentang Syirkah Inan atau Syirkah Mudharabah. Seperti pula kemarahan mereka yang bangkit karena nasionalisme, padahal seharusnya mereka marah karena kehormatan Islam dilanggar. Dengan standar ini, pemikiran dan perasaan masyarakat akan dicatat dan direkam. Hizb juga harus memperhatikan semua lapisan masyarakat, baik kalangan intelektual maupun yang lainnya, sebab pemikiran suatu komunitas (jamaah) adalah sama, begitu juga perasaannya.

22. Menilai pemikiran dan perasaan masyarakat tak lain adalah untuk memecahkan masalah yang ada, dengan cara menyerang pemikiran yang salah dan menjelaskan kekeliruannya. Juga dengan cara mengubah perasaan gembira terhadap sesuatu yang seharusnya seorang muslim tidak boleh bergembira, menjadi gembira terhadap sesuatu yang memang sudah semestinya dia bergembira, atau perasaan marah terhadap sesuatu yang semestinya seorang muslim tidak boleh marah, menjadi marah terhadap sesuatu yang sudah semestinya dia marah. Karena itu, Hizb harus benar-benar mengetahui reaksi yang ditimbulkan oleh pelbagai peristiwa dan pemikiran, yaitu mengetahui tanggapan positif masyarakat akibat adanya peristiwa dan pemikiran : apakah menimbulkan tanggapan positif ataukah tidak? Jika menimbulkan tanggapan positif, berarti masyarakat membenarkan atau menerima peristiwa dan pemikiran yang terjadi, karena itu yang harus dilakukan adalah menjelaskan kekeliruan pemikiran dan mengubah perasaan yang ada. Jika tidak menimbulkan tanggapan positif, berarti tidak perlu bersibuk diri dalam masalah tersebut, sebab itu sama artinya dengan melakukan perbuatan yang sia-sia.

23. Karena tumpuan utama untuk mengatasi masalah pemikiran dan perasaan adalah perubahan persepsi (mafahim), maka yang harus diketahui adalah sejauh mana reaksi yang muncul ketika terjadi upaya perubahan persepsi itu. Yaitu, apakah upaya Hizb mengubah persepsi masyarakat yang keliru menimbulkan tanggapan positif (berpengaruh) pada mereka ataukah tidak? Jika menimbulkan tanggapan atau pengaruh positif, berarti pemikiran yang diberikan oleh Hizb telah berhasil membentuk persepsi pada diri mereka. Hal itu juga menunjukkan bahwa tindakan mereka mengambil pemikiran Hizb adalah benar-benar untuk mengubah persepsi mereka. Lain masalahnya jika tidak muncul tanggapan positif pada mereka, sedang mereka memahami pemikiran Hizb. Dalam keadaan demikian, mereka mengambil pemikiran Hizb hanya sebagai informasi belaka, tidak digunakan untuk mengubah persepsi.

24. Karena Hizb adalah kelompok yang berusaha mengatasi masalah pemikiran dan perasaan masyarakat dengan pemikiran-pemikiran yang diadopsinya, maka dia harus memahami kecenderungan (muyul) masyarakat terhadap pemikiran Hizb dan terhadap Hizb itu sendiri. Yaitu, apakah masyarakat tertarik dengan pemikiran Hizb atau malah menjauhinya? Apakah mereka menyintai Hizb atau malah membencinya? Ataukah mereka tidak menyintai Hizb dan juga tidak membencinya, tetapi menyikapi Hizb dengan sikap masabodoh atau tidak peduli?

25. Pengetahuan yang dimiliki Hizb tentang pemikiran dan perasaan masyarakat sangat diperlukan ketika Hizb menyeru masyarakat, sehingga Hizb harus memberikan perhatian yang besar dalam aspek pemikiran dan mengetahui pemikiran yang harus disampaikannya pada waktu yang tepat. Tetapi harus dipahami bahwa perhatian dalam aspek pemikiran hanya merupakan bagian aktivitas Hizb yang berkaitan dengan pemikiran, karena yang pertama kali harus dilakukan Hizb adalah mengubah metode berpikir masyarakat, kemudian yang kedua mengubah dasar pemikiran (qa`idah fikriyah) yang dijadikan masyarakat sebagai asas pemikiran mereka, lalu yang ketiga mengubah pemikiran yang ada pada mereka, dan yang keempat menghubungkan seluruh pemikiran yang ada dalam kehidupan mereka dengan dasar pemikiran (qa`idah fikriyah) mereka. Dengan langkah ini, Hizb akan dengan mudah mengubah pemikiran masyarakat dan dapat menjamin bahwa masyarakat akan mengubah sendiri pemikiran-pemikiran mereka serta menghubung-kannya dengan dasar pemikiran mereka. Dengan demikian, Hizb akan dapat menjamin berlangsungnya transformasi umat Islam dan terwujudnya tahap revolusi pemikiran dan perasaan.

26. Transformasi umat Islam dari kondisi buruk yang mereka alami menuju kondisi yang lebih baik ditentukan oleh keberhasilan tahap revolusi (pemikiran dan perasaan) tersebut. Yaitu tergantung pada adanya pemikiran Islam dalam benak masyarakat luas, sebab persepsi masyarakat tentang kehidupan, lahir dari pemikiran-pemikiran mendasar yang ada padanya, yang masih dipengaruhi oleh pemikiran aksidental (spontan/reaktif). Karena itu, harus dikerahkan segala daya upaya untuk mewujudkan pemikiran-pemikiran mendasar dan melenyapkan pemikiran-pemikiran aksidental tersebut, serta menjadikan pemikiran Islam semata sebagai satu-satunya pemikiran mendasar bagi masyarakat. Hanyasaja perlu dipahami sejelas-jelasnya bahwa keberadaan pemikiran Islam dalam masyarakat tidaklah cukup untuk menjamin keberhasilan tahap revolusi pemikiran, dan tidak cukup pula untuk mentransformasikan umat dari satu kondisi menuju kondisi lain. Masyarakat harus melihat pemikiran Islam tersebut sebagai pemikiran yang mempunyai makna-makna yang dapat diindera, dan mereka harus terdorong dengan kuat oleh perasaan mereka bahwa pemikiran-pemikiran itu harus diwujudkan dalam realitas kehidupan. Dengan demikian, pemikiran telah berubah menjadi persepsi yang akan mendorong manusia untuk melakukan tindakan. Pemikiran Islam ini harus betul-betul mantap tertanam dalam diri individu maupun masyarakat, sehingga membuat pemikiran itu mengakar dan menancap kuat, serta mampu menghasilkan kekuatan dan pengaruh sehingga akhirnya dapat menimbulkan perubahan yang menyeluruh. Pada saat itulah perubahan dan transformasi umat akan terjadi.

27. Harus diperhatikan bahwa pemikiran-pemikiran mendasar tentang kehidupan di negeri-negeri Islam adalah pemikiran Kapitalisme-Demokrasi. Namun pemikiran tersebut masih labil dan tidak tertancap dengan kuat, karena masyarakat tidak menjadikannya sebagai pemikiran mendasar bagi mereka. Ini karena aqidah mereka masih Aqidah Islamiyah. Ketika mereka mengadopsi pemikiran Kapitalisme-Demokrasi, mereka mengambilnya begitu saja tanpa disertai keyakinan, atau mereka ditipu oleh orang yang memberikan pemikiran itu kepada mereka, yang menyatakan bahwa pemikiran tersebut tidak bertentangan dengan aqidah mereka, bahkan sesuai dengan aqidah mereka. Karena itulah, pemikiran tersebut tidak kukuh tertanam dalam benak mereka, meskipun mereka bertindak sesuai dengan pemikiran itu. Jika mereka yakin bahwa pemikiran tersebut bertentangan dengan aqidah mereka, mereka akan segera meninggalkannya dan kembali kepada pemikiran Islam. Dengan kembalinya mereka kepada pemikiran Islam, akan terjadi perubahan dalam masyarakat.

28. Di masyarakat terdapat pemikiran-pemikiran aksidental (spontan/reaktif), yaitu pemikiran yang lahir dari pengaruh-pengaruh yang bersifat temporal, seperti pemikiran-pemikiran yang menyebabkan bangkitnya sentimen nasionalisme atau patriotisme, atau pemikiran-pemikiran tentang kemerdekaan dan sebagainya. Pemikiran-pemikiran ini dihasilkan oleh keadaan yang ada dan tengah kacau, bukan lahir dari pemikiran tentang kehidupan. Karenanya pemikiran-pemikiran aksidental ini akan cepat lenyap ketika berlangsung penanaman pemikiran-pemikiran mendasar.

29. Di masyarakat terdapat kerancuan antara pemikiran yang lahir dari metode akliah (thariqah aqliyah) dengan pemikiran ilmiah yang lahir dari metode ilmiah (thariqah ilmiah). Dengan kerancuan tersebut, mereka menganggap psikologi sebagai sains (ilmu pengetahuan) dan pemikiran-pemikirannya mereka anggap sebagai pemikiran-pemikiran ilmiah, karena diperoleh dari pengamatan yang terus menerus terhadap anak-anak dalam situasi dan kondisi yang berbeda pada tingkat usia yang tidak sama. Mereka menganggap pengamatan yang berulang-ulang ini adalah eksperimen. Padahal berbagai pemikiran dalam psikologi sebenarnya bukan pemikiran ilmiah, melainkan pemikiran akliah. Sebab eksperimen ilmiah adalah meletakkan materi pada kondisi-kondisi dan faktor-faktor yang berbeda dengan kondisi-kondisi dan faktor-faktornya yang asli di alam, lalu melakukan pengamatan terhadapnya. Dengan kata lain, yang disebut dengan eksperimen adalah eksperimen terhadap materi sebagaimana eksperimen dalam ilmu alam dan ilmu kimia. Adapun pengamatan terhadap sesuatu pada waktu dan kondisi yang berbeda, bukanlah eksperimen ilmiah. Karena itu, pengamatan terhadap anak-anak dalam situasi dan kondisi serta tingkat usia yang berbeda-beda tidak termasuk dalam pembahasan eksperimen ilmiah sehingga prosesnya tidak dapat dianggap metode ilmiah, melainkan hanyalah pengamatan dan pengulangan pengamatan serta pengambilan kesimpulan. Metodenya adalah metode akliah, bukan metode ilmiah. Karena itulah, pemikiran-pemikiran psikologi sebenarnya merupakan pemikiran-pemikiran akliah dan termasuk kategori tsaqafah (kebudayaan), bukan sains. Yang sejenis dengan psikologi adalah ilmu pendidikan dan sosiologi.

30. Di masyarakat terdapat pensakralan terhadap pemikiran ilmiah dan metode ilmiah. Karena itu harus diterangkan bahwa peluang salah pada metode ilmiah merupakan salah satu asas yang harus diperhatikan sesuai dengan asumsi yang lazim dalam penelitian ilmiah. Kesalahan dapat terjadi dalam kesimpulan-kesimpulannya. Hal ini terjadi dalam banyak pengetahuan ilmiah yang kemudian terbukti kekeliruannya setelah sebelumnya disebut sebagai fakta-fakta ilmiah. Contohnya atom. Sebelumnya dikatakan bahwa atom adalah unit terkecil dari materi dan tidak dapat dipecah lagi. Di kemudian hari tampaklah kesalahannya dan terbukti dengan metode ilmiah itu sendiri, bahwa atom masih dapat dipecah lagi. Begitu juga sebelumnya dikatakan, bahwa materi itu kekal. Kemudian tampaklah kesalahannya, dan terbukti dengan metode ilmiah itu sendiri bahwa materi itu dapat lenyap. Karena itu, metode ilmiah tidak boleh dijadikan sebagai asas berpikir. Sebab metode ilmiah menghasilkan kesimpulan yang zhanni (bersifat dugaan) tentang keberadaan sesuatu dan sifat-sifatnya. Sementara metode akliah memberikan kesimpulan yang qath’i (bersifat pasti) tentang keberadaan sesuatu dan keberadaan sifat-sifat tertentu pada sesuatu itu. Namun metode akliah memberikan kesimpulan yang zhanni tentang hakikat yang sebenarnya dari sesuatu. Dalam hal memutuskan keberadaan sesuatu, atau keberadaan sifat tertentu pada sesuatu, metode akliah memberikan kesimpulan yang pasti dan meyakinkan. Karena itu, metode akliah wajib dijadikan sebagai asas kajian, karena ia memberikan kesimpulan yang pasti.

Oleh karena itu, jika terjadi kontradiksi antara kesimpulan metode ilmiah dengan kesimpulan metode akliah (mengenai keberadaan sesuatu atau keberadaan sifat tertentu pada sesuatu itu) maka yang harus diambil adalah kesimpulan metode akliah. Kesimpulan metode ilmiah tidak diambil karena ia bertentangan kesimpulan metode akliah. Sebab yang harus diambil adalah yang qath’i, bukan yang zhanni.

31. Tugas pokok Hizb adalah mengemban dakwah Islam. Dengan demikian, aktivitas terpenting Hizb adalah sebagai berikut :

1) Mengubah metode berpikir yang sedang berlaku di dunia dengan metode berpikir Islam.

2) Mengubah dasar pemikiran (qa`idah fikriyah) yang digunakan masyarakat sebagai dasar pemikiran-pemikiran mereka dengan dasar pemikiran Islam.

3) Mengubah pemikiran-pemikiran yang mereka emban dengan pemikiran-pemikiran Islam.

4) Menghubungkan seluruh pemikiran yang ada dengan dasar pemikiran Islam.

Mengubah metode berpikir harus dilakukan, karena dunia yang mengalami kemunduran taraf berpikir, termasuk Dunia Islam, berpikir secara dangkal karena metode berpikirnya dangkal dan lemah. Maka metode berpikirnya harus diubah menjadi metode berpikir yang mendalam. Misalnya, penentangan terhadap penjajahan dengan pelbagai demonstrasi dan protes, digantikan dengan upaya mencabut akar-akar penjajahan melalui mengemban qiyadah fikriyah Islam dan mendirikan Daulah Islam. Pemikiran tentang peningkatan produk nasional digantikan dengan pemikiran tentang mekanisme pendistribusiannya. Sebab masalah ekonomi di dunia timbul dari buruknya distribusi kekayaan (barang dan jasa), bukan karena minimnya produk nasional. Ini untuk dunia yang mengalami kemunduran taraf berpikir.

Sedangkan dunia yang taraf berpikirnya maju, mereka telah mengalami penyimpangan berpikir dan tersesat dari jalan yang lurus. Sebab metode berpikirnya adalah metode berpikir ilmiah. Metode ini mereka jadikan satu-satunya asas berpikir dan mereka gunakan untuk menilai semua permasalahan. Dengan demikian, metode akliah harus dijadikan asas berpikir mereka, sebagaimana metode ilmiah harus ditempatkan sebagai salah satu hasil atau cabang dari metode akliah yang meliputi aspek pengetahuan ilmiah dan aspek pengetahuan lainnya.

Ini karena metode ilmiah menuntut adanya penghapusan atau ketiadaan semua informasi terdahulu mengenai objek yang akan dikaji. Setelah itu barulah dimulai pengamatan terhadap objek dan dilangsungkan eksperimen terhadapnya. Yaitu dengan meletakkan objek tersebut dalam kondisi-kondisi dan faktor-faktor yang bukan kondisi-kondisi dan faktor-faktor aslinya, kemudian dilakukan pengamatan terhadapnya, dan selanjutnya dari proses tersebut ditarik kesimpulan mengenai objek tadi sebagai sebuah realitas materi yang dapat diindera, sebagaimana yang terjadi di dalam laboratorium. Berdasarkan proses ini, semua jenis objek yang tidak dapat diindera secara material, dianggap tidak ada dalam pandangan metode ilmiah. Dengan demikian, logika dan sejarah dianggap tidak ada, sebab keduanya tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, yaitu tidak dapat dibuktikan dengan cara mengamati objek, melakukan eksperimen padanya, dan menarik kesimpulan material terhadap objek-objek yang dapat diindera.

Ini jelas merupakan kesalahan yang fatal. Sebab, ilmu-ilmu eksperimental hanyalah salah satu cabang dari pengetahuan serta hanya salah satu bentuk pemikiran dari sekian pemikiran. Pengetahuan-pengetahuan lainnya tentang kehidupan masih banyak dan memang tidak dapat dibuktikan dengan metode ilmiah, tetapi dibuktikan dengan metode akliah. Karena itu, metode ilmiah tidak boleh dijadikan asas berpikir.

Yang harus dijadikan asas berpikir adalah metode akliah. Metode ini menyatakan bahwa pemikiran atau pengetahuan akliah, lahir dari proses pemindahan penginderaan terhadap objek (realitas terindera) melalui pancaindera ke dalam otak, lalu dengan informasi-informasi terdahulu yang ada, ditafsirkanlah objek tersebut, sehingga otak kemudian memberikan keputusan tentang objek tersebut. Keputusan ini adalah pemikiran atau pengetahuan akliah. Inilah yang menjadi asas berpikir. Melalui metode akliah ini, diperoleh pengetahuan tentang fakta-fakta ilmiah, dengan mengadakan pengamatan, eksperimen, dan penarikan kesimpulan (inferensi). Melalui metode akliah ini pula, diperoleh pengetahuan tentang masalah-masalah dalam ilmu logika dan ilmu yang semisalnya, tentang fakta-fakta sejarah dan penilaian benar-salah dalam sejarah, serta tentang pemikiran menyeluruh mengenai alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta mengenai Pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan, berikut hubungan kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum dan sesudahnya.

Inilah metode akliah yang wajib dijadikan metode berpikir yang berlaku di dunia. Dunia harus menjadikannya sebagai asas berpikir.

Sedangkan mengubah dasar pemikiran (qa`idah fikriyah) masyarakat, caranya adalah dengan mengemban qiyadah fikriyah ke seluruh dunia. Dengan kata lain, caranya adalah mengemban Aqidah Islamiyah secara akliah (harus dipahami melalui proses berpikir), sehingga dasar pemikiran yang ada pada diri masyarakat dapat berubah. Dasar pemikiran masyarakat kemungkinan berupa iman yang bersifat wijdani (melalui naluri, bukan akal) akan adanya Allah disertai pemisahan iman ini dari kehidupan, atau berupa pengingkaran terhadap eksistensi Allah. Semuanya merupakan dasar pemikiran yang tidak benar yang wajib dilenyapkan, kemudian diganti dengan dasar pemikiran Islam (Aqidah Islamiyah).

Adapun mengubah pemikiran-pemikiran yang diemban masyarakat, ditempuh dengan menjelaskan kesalahan dalam pemikiran mereka dan menerangkan pemikiran yang sahih untuk menggantikan posisi pemikiran yang salah tersebut. Metode praktis untuk menjalankannya adalah dengan cara menghubungkan pemikiran-pemikiran yang sahih tersebut dengan tindakan (tasharruf) yang dilakukan masyarakat.

Sebagai contoh, ketika orang menggembar-gemborkan bahwa kemuliaan itu adalah milik bangsa Arab, maka mereka diingatkan bahwa pandangan tersebut bertentangan dengan Islam. Sebab, kemuliaan itu hanya milik Allah, Rasul-Nya, serta orang-orang mukmin. Ketika mereka mempro-pagandakan nasionalisme Arab, mereka diingatkan akan wajibnya menyerukan Islam, di mana Islam telah menyerang fanatisme kesukuan, asal-usul, dan kebangsaan, yang semuanya merupakan fenomena nasionalisme. Dengan cara seperti itu, mereka akan mengetahui kesalahan yang mereka perbuat, karena tindakan-tindakan mereka bertentangan dengan syara’. Akhirnya mereka akan mengetahui kesalahan pemikiran-pemikirannya.

Sedangkan menghubungkan pemikiran-pemikiran dengan dasar pemikiran Islam, dilakukan melalui dua aktivitas :

Pertama, anggota-anggota Hizb harus menjadi teladan dalam tindakan-tindakannya dan mengaitkan segala tindakannya dengan Aqidah Islamiyah, meskipun itu menyalahi adat-istiadat dan tradisi yang berlaku, atau menyalahi bangsa dan umat lain yang telah maju secara material.

Kedua, melibatkan diri dalam semua problem baru ¾untuk menjelaskan pemecahannya¾ dan opini-opini yang dominan ¾untuk menerangkan kekeliruannya¾ serta segera mengoreksi persepsi-persepsi yang rancu, mengubah pemikiran-pemikiran yang salah, serta membasmi reaksi emosional yang rendah, lalu mengubahnya menjadi perasaan Islam.

32. Tugas yang dilaksanakan oleh Hizb ini memerlukan adanya para pemikir. Dan kaum terpelajar adalah orang yang paling mampu memikul tugas untuk menjadi para pemikir. Mereka merupakan orang yang paling mampu untuk melakukan tugas ini. Mungkin segera terlintas dalam benak, bahwa Hizb hanya terdiri dari kalangan kaum terpelajar. Namun sebenarnya Hizb terdiri dari segala lapisan masyarakat, baik terpelajar maupun bukan. Hanya saja setelah mereka meleburkan diri dengan Hizb, mereka akan menjadi para pemikir. Sebab mereka telah dibina baik dengan tsaqafah Hizb ¾sebagai tsaqafah Islamiyah yang diadopsi oleh Hizb¾ maupun dengan tsaqafah Islamiyah secara umum. Secara alami tsaqafah ini bersifat mendalam serta mengajarkan kedalaman berpikir.

Sedangkan kaum terpelajar, bagaimana pun juga macam pengetahuan mereka, dalam pandangan Hizb mereka tetap seperti orang kebanyakan. Karena itu, mereka harus dibina lagi dengan tsaqafah Hizb, dengan pembinaan intensif dan pembinaan umum. Dalam hal ini Hizb mengasumsikan bahwa setiap orang dianggap tidak mempunyai tsaqafah apa pun, berapa pun tingkat pengetahuannya, baik pengetahuan yang diterima sebelumnya berupa pengetahuan Islam atau pengetahuan yang lain. Hizb tetap wajib membinanya lagi dari awal.

Asumsi terhadap setiap orang ini harus dilakukan, karena dua alasan :

Pertama, bahwa pemikiran dan potensi akal terdapat pada semua orang, baik kaum terpelajar maupun bukan. Mereka berbeda-beda tingkat pemikirannya, karena adanya perbedaan potensi alamiahnya, bukan karena bertambahnya informasi. Sebab tsaqafah Islam kadang-kadang dapat tercetus dari seorang jenius yang mempunyai pengetahuan minim. Kejeniusannya dapat mencapai tsaqafah Islamiyah itu sehingga menjadi nampak sangat jelas baginya. Pemikirannya maju beberapa langkah mendahului orang-orang yang mempunyai pengetahuan lebih banyak dan ilmu yang lebih kaya darinya. Karena itu, yang menjadi tolok ukur adalah adanya potensi akal yang harus dijadikan pertimbangan utama. Sebab potensi akal itulah yang akan membuat seseorang lebih mampu mengemban qiyadah fikriyah serta menciptakan revolusi pemikiran dan perasaan di tengah-tengah masyarakat.

Kedua, metode berpikir yang dimiliki oleh kaum terpelajar ¾meskipun mereka mempunyai berbagai pengetahuan¾ adakanya dangkal atau terpengaruh dengan metode ilmiah. Keduanya jauh dari metode berpikir akliah. Selama metode berpikir itu tidak diubah dan diganti dengan metode berpikir akliah, dan selama dasar pemikiran dan pemikiran-pemikiran yang mereka emban juga tidak diubah, maka mereka tidak dapat dianggap sebagai para pemikir. Karena itu mereka harus diubah menjadi para pemikir dengan cara memberikan metode berpikir akliah kepada mereka sehingga mereka menjadi para pemikir. Atas dasar itu, Hizb wajib melahirkan para pemikir yang unggul di tengah-tengah umat.

33. Dalam melaksanakan tugasnya ¾yaitu mengemban dakwah Islam¾ Hizb harus berjalan sesuai dengan metode Islam. Metode Islam dalam mengemban dakwah ke seluruh dunia adalah jihad, sedangkan metode Islam dalam mengemban dakwah Islam kepada masyarakat adalah dengan mengajak mereka kepada Islam dengan metode hikmah, mau’idhah hasanah, serta jidal billati hiya ahsan. Allah SWT berfirman :

“Serulah (mereka) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan peringatan yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

(QS An Nahl : 125).

Yang dimaksud dengan hikmah adalah bukti atau argumentasi yang logis (al burhan al aqli). Sedangkan mau’idhah hasanah adalah memberi peringatan yang baik (at tadzkir al jamil), yaitu mempengaruhi perasaan masyarakat ketika kita menyeru akal mereka, atau mempengaruhi akal mereka ketika kita menyeru perasaan mereka, sampai perasaan dan pemikiran mereka bersatu padu sehingga mampu membuahkan amal perbuatan secara sempurna. Adapun jidal billati hiya ahsan adalah diskusi yang fokusnya terbatas pada pemikiran dan tidak melewati batas pemikiran, yakni menyerang pribadi. Ketiga metode dakwah ini wajib diperhatikan, sebab kebanyakan orang yang dihadapi dalam dakwah di tengah-tengah masyarakat adalah tiga kelompok berikut :

Pertama, kelompok yang ingin memahami Islam dan mengemban dakwah Islam. Namun mereka ingin memahami Islam melalui proses berpikir sampai akalnya puas dan hatinya tenang. Kelompok ini harus didakwahi dengan argumentasi logis dan kajian yang mendalam. Ini dilakukan melalui pembinaan intensif yang tidak dapat diperoleh orang kecuali di dalam halaqah-halaqah. Di dalamnya dia pertama-tama akan menerima tsaqafah. Setelah itu dia akan membina halaqah lain. Jadi orang yang dibina dalam halaqah diseru dengan hikmah, dan orang yang membina halaqah menyeru dengan hikmah. Inilah proses pembinaan yang menyadarkan (tsaqafah wa’iyah) yang akan melahirkan revolusi pemikiran dalam diri seseorang serta menjadikan dirinya mampu melahirkan revolusi pemikiran dalam diri orang lain di masyarakat.

Kedua, kelompok khalayak ramai, yaitu orang-orang yang tidak mempunyai cukup waktu, kesiapan, serta situasi dan kondisi yang memungkinkan mereka untuk mengikuti pembinaan intensif secara terus menerus. Termasuk dalam golongan ini adalah mereka yang pernah mengikuti halaqah kemudian berhenti, atau mereka yang sama sekali belum pernah mengikuti halaqah. Kepada mereka ini disampaikan dakwah melalui pembinaan umum (tsaqafah jama’iyah). Proses pembinaan ini dapat dilakukan dengan ceramah, tulisan, radio, koran, dan semua sarana publikasi. Tetapi harus dipahami dengan jelas bahwa pembinaan yang diberikan secara umum ini wajib memperhatikan aspek pemberian pengaruh terhadap perasaan ketika kita melakukan pembahasan yang bersifat akliah atau memberikan pemikiran yang mendalam. Juga harus tetap diperhatikan aspek pemberian pengaruh yang mendalam terhadap akal ketika kita melakukan pembahasan yang menyentuh perasaan. Dengan demikian, tsaqafah yang disampaikan tidak melulu bersifat akliah sehingga menjadi beku dan tidak disambut dengan baik oleh khalayak ramai. Juga tidak melulu bersifat emosional sehingga terkesan murahan dan tidak diterima oleh kalangan intelektual. Perlu diperhatikan, bahwa pembinaan umum inilah yang dapat menggerakkan masyarakat dan memberikan pemahaman kepada mereka. Pembinaan inilah yang menyebabkan dakwah di tengah masyarakat menjadi angin topan dan arus gelombang yang menghanyutkan. Artinya, pembinaan umum itulah yang yang akan benar-benar mengendalikan masyarakat dalam langkah perjuangan dakwah untuk merealisasikan target-target dakwah. Karena itu, proses pembinaan umum ini harus diberi perhatian khusus.

Ketiga, orang-orang yang terpesona dengan pemikiran-pemikiran lain dan organisasi-organisasi lain, atau orang-orang yang sedang kebingungan. Mereka ini adalah penganut pemikiran-pemikiran lain dan orang-orang yang bingung. Terhadap mereka, harus dilakukan diskusi mengenai pemikiran Islam. Mereka harus diajak untuk memahami Islam dan mengemban dakwah Islam, meskipun sudah pasti mereka akan menentang dakwah dengan cara menebarkan keraguan terhadap pemikiran Islam dan memberikan persepsi-persepsi yang rancu tentangnya serta menyerang pemikiran Islam. Oleh karena itu, seorang pengemban dakwah harus berlapang dada terhadap mereka. Dia harus mengambil posisi sebagai pihak yang menyerang pemikiran-pemikiran mereka yang rusak, pemahaman-pemahaman mereka yang rancu, serta metode-metode berpikir mereka yang bengkok. Dia harus menjauhi posisi sebagai pihak yang diserang dan jangan sampai mau menerima Islam sebagai pihak yang tertuduh. Dia harus menolak mentah-mentah semua itu dan segera menjelaskan pemikiran-pemikiran Islam dengan cara memberikan penjelasan (bayan) dan uraian (syarah), bukan dengan cara membela diri secara defensif. Bantahan yang diberikannya wajib berupa jidal billati hiya ahsan (perdebatan dengan cara yang baik), yaitu harus berupa diskusi, bukan debat kusir. Dalam diskusi tersebut, hendaknya pengemban dakwah waspada terhadap dua trik di mana penganut pemikiran yang rusak akan berusaha mengalihkan pembicaraan dengan dua trik tersebut ketika mereka menyadari kekalahannya. Trik pertama, yaitu pengalihan pembicaraan ¾ketika pengemban dakwah hampir sampai pada kebenaran yang meyakinkan¾ kepada pembicaraan lain sebelum selesainya pembicaraan pertama. Pengalihan ini mengakibatkan diskusi hanya berputar-putar dalam lingkaran kosong, yakni hanya berpindah-pindah dari satu pembahasan ke pembahasan lain, sehingga membuang-buang waktu yang tidak sedikit tanpa pernah sampai kepada tujuan diskusi. Trik kedua, ketika para penganut pemikiran rusak itu menyadari kekalahannya, mereka akan segera mencela dan menyerang pribadi lawan diskusinya atau orang-orang yang mendakwahinya. Ini dapat membuat pengemban dakwah tersebut balas mencela atau melakukan pembelaan terhadap dirinya ataupun terhadap pengemban dakwah lainnya. Karena itu, hendaknya kita waspada terhadap hal ini. Tidak dibolehkan terlibat dalam pembelaan terhadap diri pribadi atau terhadap pengemban dakwah yang lain. Kita harus pula menghindarkan diri membalas celaan, sebab semua ini merupakan usaha mengalihkan perhatian dari pemikiran dan proses berpikir yang mendalam. Padahal justru inilah yang diinginkan oleh penganut pemikiran yang rusak tersebut. Karena itu, pembicaraan harus dibatasi pada aspek pemikiran semata dan aspek dakwah saja. Dalam hal ini wajib ada pemikiran yang diterima oleh kedua belah pihak yang dapat dijadikan rujukan dalam pembicaraan. Selama tidak ada pemikiran dasar yang diterima oleh kedua belah pihak, tidak mungkin melakukan diskusi sebab dalam keadaan demikian diskusi sebenarnya tidak pernah ada.

34. Pendapat, pemikiran, dan hukum Islam yang diadopsi oleh Hizb wajib dijadikan materi pembicaraan dan diskusi, serta dijadikan bahan pembinaan. Karena itu, dakwah yang dilakukan wajib melalui Hizb dan dengan mengatasnamakan Hizb. Artinya, dakwah tersebut adalah dakwah kepada Islam, dan aktivitasnya adalah untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam. Tetapi yang mengemban dakwah Islam dan beraktivitas untuk melanjutkan kehidupan Islam adalah Hizbut Tahrir. Yang demikian itu karena masyarakat harus yakin seratus persen dan tidak ragu sedikit pun, bahwa tidak ada jalan keluar baginya kecuali dengan Islam, dan tidak ada kehidupan baginya kecuali dengan mengemban dakwah Islam. Keyakinan ini setiap saat harus terus ditingkatkan. Begitu pula, kepercayaan masyarakat kepada Hizb harus ditanamkan, bahwa Hizb telah dengan baik mengemban dakwah serta memimpin umat. Oleh karena itu, Hizb harus tetap menjalin hubungan dengan masyarakat, dan anggota-anggota Hizb harus tetap melakukan hubungan dengan masyarakat, sebagaimana anggota-anggota Hizb itu menjalin hubungan dengan Hizb.

Hizb juga wajib memahami dan merasakan bahwa umat secara keseluruhan adalah Hizb, sebagaimana umat harus menyadari dan merasakan bahwa Hizb adalah partai mereka dan diri mereka secara keseluruhan adalah Hizb. Dengan demikian, umat akan menjadi satu partai secara alami, dan berjuang dalam satu barisan.

35. Sebagaimana Hizb wajib memahami keadaan umat, Hizb juga wajib memahami kesadaran penjajah terhadap dakwah dan terhadap Hizb itu sendiri. Sebab, penjajah itulah yang mengumumkan peperangan terhadap Islam dan negara Islam. Penjajahlah yang telah menghancurkan negara Islam serta berusaha dengan segala cara untuk menghalang-halangi lahirnya kembali negara tersebut. Penjajah juga yang telah mengemban qiyadah fikriyah yang bertentangan dengan qiyadah fikriyah Islam serta berusaha untuk mengokohkannya di negeri-negeri Islam.

Karena Hizb mengemban dakwah Islam sebagai qiyadah fikriyah yang melahirkan peraturan kehidupan serta berusaha untuk mendirikan negara Islam di Dunia Islam dalam rangka mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia, maka wajar dan sudah pasti penjajah akan menghalang-halangi Hizb, sekaligus memerangi Hizb dan memerangi Islam. Karena itu, harus ada kewaspadaan terhadap penjajah untuk mengetahui metode-metode dan teknik-teknik kegiatannya.

Kewaspadaan terhadap penjajah telah mampu menunjukkan, bahwa penjajah akan selalu mengawasi kaum muslimin, Islam dan gerakan-gerakan Islam. Pengawasan yang dilakukan penjajah itu sebelumnya telah memberikan banyak manfaat. Dengan mengawasi kaum muslimin, kaum penjajah dapat menundukkan mereka dan menjauhkan mereka dari pemikiran Islam. Dengan mengawasi Islam, kaum penjajah dapat memanfaatkanya untuk bisa memasukkan dan memberikan persepsi-persepsi Kapitalisme dan Demokrasi kepada kaum muslimin seraya menyifatinya sebagai persepsi-persepsi Islam. Dengan mengawasi gerakan-gerakan Islam, penjajah dapat memanfaatkanya untuk bisa mengubah gerakan-gerakan itu menjadi gerakan-gerakan keagamaan dengan persepsi Barat atau gerakan-gerakan yang berasas patriotisme. Sedang gerakan-gerakan yang tidak dapat diubah, akan dihancurkan oleh penjajah. Mereka mengawasi semua itu dari jarak dekat dengan menggunakan kaca pembesar sehingga dapat melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh kebanyakan kaum muslimin.

36. Pengawasan yang dilakukan penjajah terhadap kaum muslimin, Islam, dan gerakan-gerakan Islam telah membuat penjajah benar-benar mewaspadai keberadaan Hizbut Tahrir. Penjajah paham benar bahwa Hizb merupakan kelompok yang sahih dan benar di Dunia Islam. Kewaspadaannya terhadap Hizb ini membuat penjajah terus meningkatkan kewaspadaannya terhadap Islam sebagai sebuah ideologi, bukan sebagai agama yang hanya mengandung aspek ibadah dan akhlak, sebagaimana yang dia gambarkan kepada kaum muslimin. Kewaspadaan itu juga menyebabkan penjajah semakin mewaspadai kaum muslimin ketika penjajah melihat pengaruh yang nyata dari tsaqafah Hizb dan Hizb itu sendiri di setiap tempat di mana Hizb ada. Kewaspadaan ini dalam pandangan banyak orang dinilai terlalu dini, sebab Hizb belum melewati nuqthatul ibtida` (titik permulaan dakwah) kecuali baru beberapa langkah. Hizb juga belum nampak jelas eksistensinya di tengah masyarakat tempat Hizb beraktivitas, lalu bagaimana mungkin penjajah lebih dulu mempunyai kewaspadaan seperti ini?

Akan tetapi, hal itu akan dapat dimengerti oleh mereka yang paham benar tentang kelicikan dan tipudaya penjajah terhadap Islam dan kaum muslimin, tentang ketakutan mereka yang terus menerus terhadap berdirinya Daulah Islam, dan tentang kesadaran mereka bahwa Daulah Islam tidak hanya akan mencabut penjajahan dari akar-akarnya, tetapi juga akan mengambil alih posisi negara nomor satu di dunia dan mengemban dakwah kepada setiap manusia. Mereka yang paham benar akan semua itu dapat memahami mengapa penjajah yang kafir itu secara terus menerus mengawasi kaum muslimin dengan kaca pembesar ¾yakni dapat melihat hal-hal yang tidak dapat dilihat oleh banyak orang¾ sehingga penjajah dapat mengetahuinya dan menyiapkan segala sesuatu untuk menghadapinya.

Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa di wilayah-wilayah yang ada di bawah cengkeramannya, penjajah mulai mengendalikan setiap penguasa dengan berbagai cara agar penguasa itu melarang peredaran kitab-kitab Islam di negeri-negeri Islam, menyitanya dari tangan khalayak ramai, mendobrak rumah-rumah dan menggeledahnya untuk mencari kitab-kitab itu, lalu merampas dan membakarnya. Penjajah juga menyetir penguasa agar melarang perpindahan kaum muslimin di negeri-negeri mereka, menangkap mereka, membatasi domisili mereka di tempat-tempat tertentu, serta mengawasi dan memata-matai mereka. Itu terjadi hanya karena mereka mengemban qiyadah fikriyah Islam dan mengajak masyarakat kepada Islam. Dengan demikian, tidak aneh penjajah yang kafir itu melakukan semua itu padahal perjalanan dakwah belum melewati tahap pembinaan dalam halaqah-halaqah dan kajian di masjid-masjid. Dengan kata lain, dakwah belum melampaui tahap muhawalah al mukhathabah (usaha menyeru masyarakat). Yang demikian itu karena penjajah mengetahui adanya kekuatan dahsyat yang terkandung dalam Islam untuk mempengaruhi manusia, lebih-lebih orang Islam.

Mereka menyadari adanya kekuatan dahsyat dalam diri orang-orang yang mengimani Islam, yakni pengaruh Islam terhadap mereka yang mengalami perombakan total dalam pemikiran dan perasaan. Maka dari itu, kaum penjajah berusaha dengan sekuat tenaga untuk menghalang-halangi keberhasilan dakwah Islam dan berdirinya Daulah Islam.

37. Oleh karena itu, Hizb wajib mewaspadai penjajah serta berhati-hati dengan pelbagai metode dan taktik yang mereka gunakan dalam menjalankan aktivitasnya. Hizb harus membongkar semua itu kepada segenap orang dan mengajak umat secara keseluruhan untuk waspada terhadap penjajah yang kafir berikut metode dan taktik geraknya. Hizb wajib pula memahami ¾ketika dia berada pada titik tolak perjalanan dakwah (nuqthatul inthilaq) ¾ bahwa dia harus mulai menyerang penjajah. Sebab Hizb akan menyeru masyarakat, mengadopsi kemaslahatan mereka, serta membongkar strategi penjajah. Dalam kondisi seperti ini, penjajah tidak akan berpangku tangan, terutama ketika strategi-strateginya dibongkar. Maka dari itu, dalam keadaan seperti itu akan terjadi friksi secara langsung dengan penjajah yang kafir, yang kemungkinan akan membuat penjajah mencoba mengobarkan konflik (clash) untuk melawan Hizb. Dalam hal ini, penjajah telah menyiapkan diri untuk membuat kaum muslimin saling berperang melawan sesama muslim. Penjajah telah menetapkan hal ini sebagai strateginya, sehingga mereka akan merekayasa kelompok-kelompok dari rakyat negeri-negeri Islam untuk bertarung melawan Hizb. Penjajah akan bersungguh-sungguh menjalankan strateginya ini. Penjajah tidak akan turun tangan langsung menghadapi Hizb kecuali dalam kondisi mendesak, atau ketika penjajah telah terpukul mundur sampai di parit-parit bagian belakang yang dimilikinya dengan membawa senjata terakhir yang dimilikinya.

Dengan demikian, Hizb wajib menghindari konflik dengan penduduk negeri-negeri Islam dan berupaya agar konflik yang terjadi adalah antara penjajah melawan umat secara keseluruhan, bukan melawan Hizb saja. Oleh sebab itu, Hizb harus menjadikan umat secara keseluruhan sebagai Hizb. Hizb harus meleburkan umat dengan Islam, membuatnya percaya penuh kepada Hizb, menanamkan ketaatan yang sadar kepada Hizb, serta memimpin mereka kepada Hizb dan kepada ideologi yang diemban Hizb, yaitu Islam. Dengan demikian, umat akan berjalan dalam satu barisan yang terbentuk dari kesadaran dan pemahaman, serta mempunyai kekuatan dan daya dorong layaknya badai taufan yang dapat menyapu segala sesuatu. Pertempuran yang hakiki akan berkobar antara umat ¾bahkan seluruh penduduk negeri-negeri Islam¾ melawan penjajah yang kafir hingga semua bekas-bekas penjajahan dapat dihapuskan.

Perubahan pihak yang bertempur, yang semula antara Hizb melawan penjajah menjadi antara penduduk negeri Islam melawan penjajah, akan berlangsung secara pasti dan alami. Ini menuntut Hizb untuk membongkar kepada umat sikap permusuhan yang keji yang bersarang di dada musuh umat yang telah menjajah mereka. Hizb harus membongkar pula berbagai konspirasi jahat yang direkayasa penjajah yang kafir untuk menentang umat serta berbagai tipu muslihat yang licik yang diarahkan kepada umat, yang tujuannya adalah untuk menghinakan umat, memusnahkan mereka, dan menghancurkan ideologi mereka.

Dengan demikian, umat secara keseluruhan bersama-sama Hizb telah memikul tugas mengemban dakwah Islam dan melanjutkan kehidupan Islam dengan jalan mendirikan Daulah Islam dan memusnahkan semua rintangan yang menghalangi berdirinya Daulah Islam. [ ]


TITIK TOLAK

PERJALANAN DAKWAH

HIZBUT TAHRIR


Judul Asli : Nuqthatul Inthilaq

Dikeluarkan oleh : Hizbut Tahrir, 1957

Edisi Indonesia

Judul : Titik Tolak Perjalanan Dakwah Hizbut Tahrir

Penerjemah : Muhammad Maghfur

Penyunting : Muhammad Shiddiq Al Jawi

Penata Letak : Ahmad Hanafi

Desain Sampul : Abdullah Fanani

Penerbit : Pustaka Thariqul ‘Izzah

Jl. Prof. Lafran Pane (RTM) No. 39 Depok16951

Telp. (021) 8703442


arab