info ISLAM

Kamis, 17 Februari 2011

PERSEPSI-PERSEPSI BERBAHAYA

PENDAHULUAN

Pertarungan antara kebaikan dan kejahatan atau antara haq dan batil, adalah salah satu sunnatullah dalam kehidupan. Karena, Allah dengan hikmah-Nya berkehendak menjadikan pertarungan yang terjadi di antara manusia dan saling menolak keganasan, sebagai salah satu faktor untuk menampakkan yang haq dan yang baik, serta menghancurkan yang batil dan yang jahat. Allah SWT berfirman :

وَلَوْلاَ دَفْعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّفَسَدَتِ اْلأَرْضُ

“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dari sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini.” (QS Al Baqarah : 251)

Allah SWT berfirman pula :

وَلَوْلاَ دَفْعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَّصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيْهَا اسْمُ اللهِ

“Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) seba-gian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.”

(QS Al Hajj : 40)

Rasulullah SAW dan para shahabatnya terjun dalam perseteruan pemikiran (ash shira’ul fikri) dan per-juangan politik (al kifahus siyasi) mela-wan orang-orang musyrik dalam rangka mendirikan Daulah Islamiyah. Seiring itu, Beliau SAW. terjun dalam pertarungan berdarah/jihad (ash shira’ud damawi) menyusul berdirinya Daulah Islamiyah, demi untuk mengemban Islam sebagai risalah kebajikan dan petunjuk kepada seluruh manusia. Semenjak itu, orang-orang kafir senantiasa membuat berbagai tipu daya terhadap negara ini di sepanjang masa. Kadang-kadang mereka menem-puhnya dengan aksi-aksi fisik berupa peperangan, seperti yang dilakukan bangsa Moghul, kaum Salibis, dan kaum kafir Spanyol. Ada kalanya dengan aksi-aksi yang mengarah pada serangan pemikiran dan kebudayaan (tsaqafah), seperti yang dilakukan oleh kaum zindiq serta para misionaris dan orientalis. Mereka melakukan itu dengan maksud untuk menghancurkan negara Khilafah sebagai institusi pelaksana ajaran Islam dalam kancah kehidupan dunia, dibawah kepemimpinan seorang Khalifah.

Pada Perang Dunia I mereka berhasil mewujudkan target itu. Mereka telah meruntuhkan negara Khilafah dan mengusir Khalifah, memecah belah negeri-negeri Islam menjadi negara-negara boneka yang kerdil, dan menerapkan hukum-hukum kufur serta sistem ideologi-nya di sana. Mereka mengira bahwa dengan segala upayanya itu telah berhasil menghapuskan Islam dari jiwa kaum muslimin.

Namun demikian, ternyata umat Islam di bawah bimbingan putera-puterinya yang mu`min, sadar dan ikhlas, kini telah kembali menempuh jalan menuju kebangkitan. Negara-negara kafir pun tersadar, bahwa kekuatan Islam ternyata tidak terbatas hanya pada Khilafah sebagai institusi pelaksana Islam saja. Dan bahwa terkecohnya sebagian kaum muslimin yang berjiwa lemah lalu mencemari pemikirannya dengan kebudayaan (tsaqafah) Barat, ternyata tidak juga berhasil mewujudkan angan-angan mereka.

Setelah mengadakan evaluasi dan studi, mereka sampai pada kesimpulan bahwa kekuatan Islam dan umatnya sesungguhnya berada di balik Aqidah Islamiyah beserta pemikiran-pemikiran yang terlahir daripadanya. Hal ini kemudian mengharuskan mereka mengkaji ulang strategi yang mereka tempuh untuk lebih dikembangkan lagi. Tujuannya adalah agar negara-negara kafir, dengan institusi-insitusi resmi dan agen-agennya dari kalangan penguasa dan intelektual, dapat menjalankan misinya untuk memus-nahkan Islam. Caranya adalah dengan menghapus Aqidah Islamiyah sebagai Aqidah Siyasiyah (dasar sistem politik) kemu-dian menggantikannya dengan aqidah Sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Mereka pun mulai melontarkan dan mengadopsi berbagai pemikiran untuk mewujudkan target tersebut, seperti nasionalisme, demokrasi, pluralisme politik, hak asasi manusia, kebebasan, dan politik pasar bebas. Semua ide ini telah kami terangkan kekeliruan dan bahayanya (Lihat kitab kami Serangan Amerika Untuk Menghancurkan Islam).

Kemudian mereka melontarkan pemikiran-pemi-kiran lain yang disertai dengan aksi-aksi, seperti dialog antar agama dan antar peradaban, perbincangan tentang anak-cucu Nabi Ibrahim AS, dan pendiskreditan Islam dengan predikat terorisme, fundamentalisme, dan ekstremisme.

Kami merasa berkewajiban untuk menjelaskan hakikat lontaran-lontaran ini serta bahayanya bagi umat Islam, agar umat menyadarinya dan dapat mengambil sikap yang syar’i terhadapnya. Apalagi perjuangan mengembalikan Islam ke dalam realitas kehidupan --sebagai ideologi universal dan sistem politik yang akan diemban oleh negara Khilafah kepada seluruh umat manusia-- merupakan suatu perkara yang diyakini adanya secara pasti. Bukan hanya oleh umat Islam yang berjuang semata, tetapi juga oleh seluruh umat Islam, dan bahkan oleh musuh-musuh Islam yang tak henti-hentinya melakukan persekongkolan terhadap Islam dan kaum muslimin.

Kami akan membahas pemikiran-pemikiran ini guna menerangkan bahaya dan kekeliruannya. Pemi-kiran-pemikiran itu harus dipandang bukan hanya sebagai sesuatu yang harus dipahami, atau hanya sebagai kerancuan yang harus ditolak, melainkan juga sebagai salah satu ulah Barat yang kafir --di bawah pimpinan Amerika, Inggris, dan Perancis-- untuk menghantam Islam, untuk menghantam para aktivis yang mengembalikan Khilafah, bahkan untuk meng-hantam negara Khilafah itu sendiri ketika dia dipro-klamirkan berdirinya nanti, Insya Allah.

Oleh karena itu, berbagai pemikiran dan aksi negara-negara kafir itu harus dibongkar secara tuntas, agar kaum muslimin menyadari apa yang diingini musuh Islam terhadap mereka serta menyadari ber-bagai tipu daya terhadap agama mereka. Dengan demikian, kaum muslimin akan makin teguh berpegang pada Islam dan makin bersungguh-sungguh untuk berjuang mengembalikan Khilafah yang mengikuti metode (minhaj) kenabian dalam rangka meneladani Rasullah SAW, agar mereka berhasil mendirikan kembali Khilafah dan memberlakukan hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman :

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلىَ الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ اْلمُشْرِكُوْنَ

Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur`an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.”

(QS At Taubah : 33)

Dan kami yakin sepenuhnya, jika kami telah me-nunaikan kewajiban yang ditetapkan Allah atas kami tersebut, niscaya orang-orang kafir yang melakukan tipu daya terhadap Islam dan kaum muslimin itu akan frustrasi dan gagal mencapai cita-citanya, akan merugi harta benda yang dibelanjakannya, dan akan padam segala pengaruhnya. Allah SWT berfirman :

إِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا يُنْفِقُوْنَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوْا عَنْ سَبِيْلِ اللهِ فَسَيُنْفِقُوْنَهَا ثُمَّ تَكُوْنُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُوْنَ

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkah-kan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan.” (QS Al Anfaal : 36)

TERORISME

Terorisme, yang dalam bahasa Arabnya al irhab, adalah mashdar yang merupakan musytaq (derivat/ pecahan kata) dari fi’il arhaba, yang berarti “mencip-takan ketakutan” (akhaafa) atau “membuat kengerian/ kegentaran” (fazza’a). Makna bahasa ini terdapat dalam firman Allah SWT :

تُرْهِبُوْنَ بِهِ عَدُوَّ اللهِ وَعَدُوَّكُمْ

“...(yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah dan musuh kalian...” (QS Al Anfaal : 60)

Tetapi makna bahasa ini telah dipindahkan kepada makna terminologis (istilah) yang baru. Dinas Intelijen Amerika dan Dinas Intelijen Inggris dalam sebuah se-minar yang diadakan untuk membahas makna “teror-isme” pada tahun 1979 telah menyepakati bahwa “te-rorisme” adalah penggunaan kekerasan untuk mela-wan kepentingan-kepentingan sipil guna mewujudkan target-target politis.

Setelah seminar itu, banyak diselenggarakan kon-ferensi dan seminar internasional, serta ditetapkan berbagai hukum dan undang-undang untuk membatasi aksi-aksi yang dapat digolongkan sebagai terorisme, untuk menerangkan kategori berbagai gerakan, kelom-pok, dan partai yang melakukan aksi terorisme, serta untuk menentukan negara-negara mana yang men-sponsori terorisme. Semua aturan ini --menurut sangkaan mereka-- adalah dasar untuk mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan guna memerangi terorisme dan membatasi gerak-geriknya.

Dari tinjauan global terhadap berbagai undang-undang dan hukum yang berkaitan dengan terorisme, nampak jelas bahwa semua peraturan itu ternyata tidak mendalam dan tunduk pada orientasi politik dari negara-negara yang membuatnya. Sebagai contoh, kita lihat Amerika menganggap pembunuhan Indira Gandhi sebagai aksi terorisme, sementara pembunuhan Raja Faisal dan Presiden Kennedy tidak dianggap aksi terorisme. Contoh lain, Amerika pada awalnya mencap pemboman gedung Kantor Penyelidikan Federal di Oklahoma sebagai aksi terorisme. Tetapi ketika terbukti bahwa pelaku pemboman adalah kalangan milisi Amerika sendiri, pemboman yang semula dianggap aksi terorisme, kemudian hanya dianggap sebagai “aksi kriminal” belaka.

Amerika secara khusus mensifati sebagian gerakan sebagai “gerakan perlawanan rakyat”, misalnya gerak-an revolusioner Nikaragua (Zapatista), Tentara Pem-bebasan Irlandia (IRA), dan lain-lain. Para anggota dari gerakan-gerakan ini, ketika ditangkap, diperlakukan sebagai tawanan perang sesuai dengan Protokol Nomor 1 tahun 1977 yang ditambahkan pada Konvensi Genewa. Akan tetapi Amerika mensifati setiap gerakan yang bertentangan dengan kepentingan Amerika atau kepentingan agen-agen Amerika, sebagai gerakan terorisme. Nama gerakan tersebut pun kemudian dicantumkankan dalam daftar organisasi teroris yang dikeluarkan secara periodik oleh Departemen Luar Negeri Amerika. Gerakan ini misalnya adalah sebagian besar gerakan-gerakan Islam yang ada di Mesir, Pakistan, Palestina, Aljazair, dan lain-lain.

Sejak dekade 70-an, Amerika memang telah merekayasa opini umum internasional dan regional (di Amerika) untuk melawan terorisme seperti yang kita lihat dan melawan orang yang dicap sebagai teroris. Amerika juga telah mengeksploitir aksi-aksi yang dilakukan untuk merealisasikan target-target sipil, baik yang dilakukan oleh berbagai gerakan politik atau gerakan militer yang tidak mempunyai hubungan dengan Amerika, maupun yang dilakukan oleh ber-bagai gerakan yang mempunyai hubungan dengan Amerika (CIA), sebagaimana yang ditunjukkan oleh banyak dokumen yang menerangkan, bahwa aksi-aksi yang dicap sebagai aksi terorisme, sebenarnya didalangi oleh intel-intel CIA sendiri, seperti pembajakan pesawat TWA di Beirut pada awal 80-an lalu. Misalnya, Amerika telah mengeksploitir peristiwa peledakan gedung Al Khubar milik Amerika di Saudi, dengan memaksakan 40 rekomendasi yang berkaitan dengan upaya memerangi terorisme pada Konferensi Negara-Negara G-7 yang diselenggarakan di Perancis tahun 1996. Kemudian Amerika juga memanfaatkan peristiwa peledakan gedung Pusat Perdagangan Dunia (WTC) di New York dan Kantor Penyelidikan Federal di Oklahoma --bahkan sebelum diketahui siapa pelakunya-- dengan menge-luarkan Undang-Undang Perlawanan Terhadap Teror-isme yang disetujui oleh Senat Amerika tahun 1997.

Berdasarkan rekomendasi dan undang-undang tersebut, Amerika dapat memata-matai siapa pun dan di mana pun terhadap orang yang dituduh sebagai teroris. Amerika berhak untuk menangkap atau menculiknya, serta berhak pula menjatuhkan sanksi yang dianggap cocok baginya seperti penahanan, penyitaan, deportasi, atau pencabutan kewarganegaraan, tanpa memberikan hak kepada pihak tertuduh untuk membela diri, atau untuk hadir di hadapan pengadilan atau lembaga hakim juri.

Amerika pun lalu melakukan generalisasi sifat terorisme terhadap negara-negara yang merintangi kepentingan-kepentingan Amerika, seperti Korea, China, Irak, dan Libya; juga terhadap banyak gerakan Islam seperti Tanzhimul Jihad, Hammas, dan Jama’ah Islamiyah di Mesir, serta FIS di Aljazair, dengan memanfaatkan peristiwa-peristiwa pemboman yang terjadi di Palestina untuk melawan Yahudi, dan aksi-aksi yang terjadi di Aljazair tak lama setelah pembatalan hasil pemilu untuk anggota legislatif oleh kalangan militer.

Berdasarkan undang-undang, keputusan, dan re-komendasi yang ada, Amerika bisa memata-matai dan menghantam siapa saja yang dicapnya sebagai teroris, baik itu individu, organisasi, partai, ataupun negara, dengan menggunakan kekuatan militernya, atau pe-ngaruh politiknya untuk melakukan blokade ekonomi, seperti yang dilakukannya terhadap Irak dan Libya. Hal ini telah diungkapkan oleh mantan Menlu Amerika George Schultz yang berkata,”Para teroris itu, bagaimana pun juga mereka berusaha melarikan diri, tetap tak akan dapat menyembunyikan diri.”

Karena Islam telah dinominasikan oleh Amerika untuk menjadi musuhnya setelah robohnya Komunis-me, maka negeri-negeri Islam menjadi wilayah terpenting yang akan menjadi sasaran Amerika dalam penerapan undang-undang terorisme. Tujuannya adalah untuk mengokohkan cengkeraman Amerika di negeri-negeri Islam itu serta melestarikannya agar tetap ada di bawah hegemoni Amerika. Sebab, kaum muslimin memang telah mulai merintis jalan menuju kebangkitan untuk mengembalikan Khilafah, yang telah dimengerti betul oleh Amerika dan negara-negara kafir lainnya, bahwa Khilafah itulah satu-satunya negara yang berkemampuan untuk meluluhlantakkan ideologi Kapitalisme yang dipimpin oleh Amerika.

Oleh karena itu, hampir-hampir tak ada satu pun gerakan Islam yang ada saat ini, kecuali harus siap-siap dicap sebagai teroris oleh Amerika. Begitu pula cap ini pun bahkan tak dapat dihindarkan oleh gerakan-gerakan dan partai-partai Islam yang sama sekali tidak menggunakan kekerasan untuk mencapai target-targetnya. Sebab Amerika telah menganggap bahwa aktivitas tiap gerakan, partai, atau negara yang menyerukan kembalinya Islam, adalah aksi teroris yang bertentangan dengan Undang-Undang Internasional. Selanjutnya berdasarkan justifikasi ini dan berdasarkan ketentuan yang harus dijalankan oleh negara-negara penandatangan Undang-Undang Teror-isme, Amerika dapat menghimpun kekuatan negara-negara tersebut di bawah kepemimpinannya untuk memukul gerakan, partai, atau negara tersebut.

Dari sinilah, maka kaum muslimin yang kini tengah berjuang mengembalikan Khilafah, yang menjadi sasaran langsung dari langkah politik yang disebut dengan “melawan terorisme”, berkewajiban membentuk opini umum Dunia Islam dan opini internasional dengan membongkar hakikat dari apa yang dinamakan Undang-Undang Terorisme, dan hakikat politik Amerika yang digunakan untuk menciptakan hegemoni atas dunia melalui undang-undang itu, serta membeber-kan bahwa Amerikalah sebenarnya yang berada di balik aksi-aksi terorisme yang banyak terjadi di dunia, meski pun tuduhannya dilemparkan kepada orang-orang Islam.

Kaum muslimin berkewajiban pula untuk menjadi representasi Islam dalam segala perbuatan dan tinda-kannya. Sebab Islam mempunyai metode khusus untuk merealisasikan berbagai target dan tujuan, yang di antaranya adalah melanjutkan kehidupan Islam dengan cara mendirikan kembali negara Khilafah. Berpegang teguh dengan metode ini --yang bertumpu pada per-tarungan pemikiran (ash shira’ul fikri) dan perjuangan politik (al kifahus siyasi) serta menjauhkan diri dari penggunaan senjata (kekerasan)-- hakikatnya adalah berpegang teguh dengan metode syar’i yang dituntut oleh Islam. Jadi ini bukan karena takut atau melarikan diri dari cap terorisme.

Mereka juga wajib menjelaskan bahwa tugas Daulah Islamiyah setelah dia berdiri, tetap terikat dengan syara’, baik tugas dalam negeri seperti mengatur beraneka ragam urusan rakyat dan menerapkan hudud, maupun tugas luar negeri seperti mengemban risalah Islam dengan cara jihad fi sabilillah kepada seluruh umat manusia dan memusnahkan penghalang-penghalang fisik yang merintangi penerapan Islam.

Kemudian, mereka wajib pula menerangkan bahwa penerapan Islam oleh kaum muslimin untuk diri mereka sendiri ataupun untuk yang beragama lain, tidaklah berdasarkan hawa nafsu kaum muslimin atau untuk mewujudkan kepentingan pribadi mereka, tetapi semata-mata karena menjalankan perintah-perintah Allah SWT, yang telah menciptakan alam semesta, manusia, dan kehidupan ini, yang telah menuntut manusia untuk menata hidupnya sesuai dengan hukum-hukum Islam yang diturunkan-Nya kepada Muhammad Rasulullah SAW.

Cap yang diberikan oleh Amerika dan negara-negara lain bahwa Islam adalah terorisme dan bahwa kaum muslimin adalah para teroris, sesungguhnya adalah predikat yang tendensius. Predikat itu tidak sesuai dengan fakta yang ada dan juga tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah dari ajaran Islam. Allah SWT berfirman :

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ

“Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”

(QS Al Anbiyaa` : 107)

Allah SWT berfirman pula :

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ اْلكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِيْنَ

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur`an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang muslim.”

(QS An Nahl : 89)

Rahmat tersebut sesungguhnya akan terwujud dengan penerapan hukum-hukum Islam. Tak ada bedanya antara sholat dan jihad, antara do`a dan menggentarkan musuh, antara zakat dan pemotongan tangan pencuri, antara menolong orang yang dianiaya dan menghukum mati orang yang melanggar kehor-matan kaum muslimin. Tak ada bedanya, sebab semua-nya adalah hukum-hukum syara’ semata, yang wajib diterapkan oleh individu muslim atau oleh institusi negara, masing-masing sesuai dengan faktanya dan pada waktunya secara tepat.

DIALOG ANTAR AGAMA

Berdakwah kepada orang-orang non-Islam untuk memeluk Islam, adalah perkara yang diwajibkan oleh Allah SWT atas kaum muslimin. Tugas ini telah mereka laksanakan selama 14 abad. Tak henti-hentinya mereka mengajak orang-orang non-Islam untuk masuk Islam, baik golongan Ahli Kitab maupun golongan lainnya. Allah SWT berfirman :

أُدْعُ إِلى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنْ ...

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah (hujjah) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS An Nahl : 125)

Rasulullah SAW bersabda dalam surat beliau yang ditujukan kepada Heraklius, Raja Romawi :

فَإِنِّيْ أَدْعُوْكَ بِدِعَايَةِ اْلإِسْلاَمِ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ، يُؤْتِكَ اللهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ، فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَعَلَيْكَ إِثْمُ اْلأَرِيْسِيِّيْنَ …

“...Sesungguhnya aku berseru kepadamu dengan seruan Islam; masuk Islam-lah kamu niscaya kamu akan selamat! Allah akan memberikan dua pahala kepadamu. Tapi jika kamu berpaling maka kamu menanggung dosa para petani (rakyatmu)...” (HR. Bukhari)

Jelaslah, bahwa dakwah kita kepada kepada orang-orang non-Islam, adalah dakwah untuk memeluk Islam dan meninggalkan kekufuran.

Adapun ide dialog antar agama yang ramai dijaja-kan saat ini, adalah ide dari Barat yang sangat keji lagi sangat asing. Tidak ada asal usulnya dalam Islam, sebab ide ini menyerukan untuk mencari titik temu bersama di antara agama-agama. Bahkan ide tersebut menyerukan untuk membentuk agama baru yang sengaja direka-reka agar kaum muslimin memeluknya sebagai ganti agama Islam, karena penganut ide ini dan para propagandisnya adalah orang-orang Barat yang kafir.

Ide ini mulai muncul secara internasional pada tahun 1932 tatkala Perancis mengutus delegasinya untuk berunding dengan tokok-tokoh ulama Al Azhar (Kairo) mengenai ide penyatuan tiga agama; Islam, Kristen, dan Yahudi. Kegiatan ini kemudian ditindaklanjuti dengan Konferensi Paris tahun 1933 yang dihadiri oleh para orientalis dan misionaris dari berbagai universitas di Inggris, Swiss, Amerika, Italia, Polandia, Spanyol, Turki, dan lain-lain. Konferensi Agama-Agama Sedunia tahun 1936 merupakan konferensi agama terakhir sebelum Perang Dunia II yang telah membuat sibuk negara-negara Eropa untuk menyelenggarakan konferensi-konferensi serupa.

Pada tahun 1964 Paus Paulus VI menulis sebuah risalah yang menyerukan dialog antar agama-agama. Kemudian pada tahun 1969 Vatikan menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Alasan Dialog Antara Kaum Muslimin dan Kaum Kristiani.”

Sepanjang dasawarsa 70-an dan 80-an abad ini, telah diadakan lebih dari 13 pertemuan dan konferensi untuk dialog antar agama dan antara peradaban. Yang paling menonjol adalah Konferensi Dunia II untuk Agama Islam di Belgia, yang dihadiri oleh 400 delegasi dari beraneka agama yang berbeda-beda, dan Kon-ferensi Cordoba di Spanyol yang dihadiri oleh delegasi-delegasi muslim dan Kristen dari 23 negara. Kedua konferensi ini diselenggarakan tahun 1974. Kemudian diselenggarakan pula Pertemuan Islam-Kristen di Carthage di Tunisia tahun 1979.

Pada dekade akhir abad ini para propagandis dialog antar agama bergiat mengadakan Konferensi Dialog Eropa-Arab tahun 1993 di Yordania, yang disusul dengan Konferensi Khartoum untuk Dialog Antar Agama tahun 1994. Pada tahun 1995 diadakan dua konferensi untuk dialog antar agama, yang pertama di Stockholm, dan yang kedua di Amman (Yordania). Kedua konferensi lalu disusul dengan Konferensi Islam dan Eropa di Universitas Aalul Bait (Yordania) tahun 1996.

Justifikasi Dialog Antar Agama

Justifikasi terpenting yang diajukan para peserta konferensi di berbagai konferensi antar agama, adalah untuk membendung kekufuran dan ateisme yang terwujud dalam negara Uni Soviet sebelum negara ini runtuh. Sebab, Komunisme dipandang sebagai ajaran ateis yang mengancam agama-agama samawi termasuk prestasi-prestasi peradabannya. Justifikasi lainnya, adalah adanya keprihatinan terhadap umat manusia dan pembelaan terhadap orang-orang beriman di muka bumi. Justifikasi lainnya lagi, adalah perlunya upaya mencari kebenaran yang harus dipandang relatif (nisbi), sehingga tak boleh seorang pun mengklaim telah memonopoli kebenaran, sebab kebenaran harus tunduk pada kaidah demokrasi, yaitu pendapat mayoritas merupakan pendapat yang paling dekat dengan kebenaran.

Rekomendasi-Rekomendasi Peserta Konferensi

Rekomendasi terpenting dari konferensi-konfe-rensi yang diselenggarakan atas nama dialog antar agama dan antar peradaban, serta dialog antara Islam dan Eropa, adalah sebagai berikut :

· Perlu dicari makna-makna dan dimensi-dimensi baru untuk kata “kufur”, “ateis”, “syirik”, “iman”, “islam”, “moderat”, “ekstrem”, dan “fundamental-isme” sedemikian rupa, sehingga kata-kata itu tidak menjadi faktor pemecah-belah di antara penganut-penganut agama.

· Perlu dicari titik-temu dari ketiga agama, yang meliputi aspek aqidah, akhlaq, dan budaya, untuk menegaskan adanya titik-temu positif di antara berbagai agama dan peradaban, sebab semua Ahli Kitab adalah orang-orang beriman yang sama-sama menyembah Allah.

· Perlu adanya piagam bersama hak-hak asasi manu-sia, untuk memantapkan perdamaian dan pola hidup berdampingan secara damai di antara penganut agama-agama. Hal ini dilakukan dengan cara meng-hilangkan perasaan akan adanya batas-batas prinsipil antar agama, dan dengan menghilangkan persepsi permusuhan dalam budaya berbagai bangsa dan politik berbagai negara.

· Perlu dilakukan rekonstruksi sejarah dan kurikulum pendidikan, agar jauh dari hal-hal yang dapat mem-bangkitkan kemarahan dan kebencian, serta meng-anggap bahwa pengajaran agama adalah bagian dari kajian humaniora yang mendasar, yang ditujukan untuk membentuk kepribadian yang terbuka dengan berbagai kebudayaan umat manusia serta mau memahami agama lain. Karena itu, wajib dijauhkan beberapa pembahasan tertentu dalam aqidah dan ibadah.

· Perlu adanya perhatian pada pembahasan tema-tema tertentu dan menetapkan persepsi yang mempersatukan pada tema-tema tersebut. Tema-tema tersebut adalah:“keadilan”, “perdamaian”, “wanita”, “hak asasi manusia”, “demokrasi”, “etos kerja”, “pluralisme”, “kebebasan”, “perdamaian dunia”, “hidup ber-dampingan secara damai”, “keterbukaan peradaban”, “masyarakat madani” (civil society), dan sebagainya.

Sarana dan Cara Dialog Antar Agama

Setelah orang-orang Barat yang kafir gagal men-jauhkan kaum muslimin dari aqidah mereka melalui para misionaris dan orientalis, beraneka literatur dan jurnal kebudayaan, serta manipulasi ideologi, politik, dan media, mereka beralih pada lembaga-lembaga resmi di negara-negara mereka dan negara-negara agen-agen mereka. Mereka mulai mengadakan berbagai konferensi dan seminar, membentuk kelompok-kelompok aksi bersama, dan mendirikan pusat-pusat studi di negeri-negeri mereka ataupun di negeri-negeri Islam, seperti Pusat Studi Islam Universitas Oxford (Inggris), Pusat Studi Timur Tengah Universitas Durham (Inggris), College of Holly Cross (Akademi Salib Suci) di Amerika, Rabithah Alam Islami (Liga Dunia Islam) di Arab Saudi, Al Majma’ Al Mulki li Buhuutsil Hadlarah Al Islamiyah (Dewan Kerajaan untuk Pengkajian Peradaban Islam), Universitas Aalul Bait (Yordania), Dewan Gereja-Gereja Dunia, dan lain-lain.

Mereka menggunakan bermacam-macam istilah dan kata yang manis-memikat dengan makna-makna yang tidak jelas untuk menyesatkan dan mengecoh kaum muslimin, seperti “pembaharuan”, “keterbukaan ter-hadap dunia”, “peradaban umat manusia”, “penge-tahuan universal”, “keharusan hidup berdampingan secara damai”, “membuang fanatisme dan ekstrem-isme”, “globalisasi”, dan lain sebagainya.

Mereka merancukan persepsi tentang ilmu penge-tahuan/sains (‘ilmu) dengan kebudayaan (tsaqafah), serta peradaban (hadlarah) dengan corak kehidupan fisik (madaniyah). Perancuan ini lalu dijadikan landasan untuk menyerang orang-orang yang konsisten dengan pandangan hidupnya yang khas, karena dianggap menentang ilmu pengetahuan dan corak kehidupan fisik yang lahir darinya, serta dicap sebagai golongan yang terbelakang dan tertinggal. Padahal masalahnya menurut Islam tidaklah seperti yang mereka dakwakan. Sebab Islam telah membuka diri terhadap ilmu pengetahuan beserta corak kehidupan fisik yang lahir darinya. Tetapi Islam memang menutup diri terhadap kebudayaan dan peradaban apa pun yang bukan kebudayaan dan peradaban Islam, sebab kebudayaan dan peradaban merupakan pemikiran yang berhu-bungan dengan perilaku manusia yang wajib ditata hanya dengan persepsi Islam tentang kehidupan.

Mereka membagus-baguskan berbagai pemikiran ideologi Kapitalisme di hadapan kaum muslimin, serta mempromosikannya sebagai sesuatu yang tidak menya-lahi ajaran Islam. Akibatnya, sebagian kaum muslimin mengira bahwa pemikiran-pemikiran itu berasal dari Islam, seperti pemikiran demokrasi, kebebasan, pluralisme politik, sosialisme, dan lain-lain. Sebaliknya, mereka menyerang sebagian pemikiran Islam dan mensifatinya sebagai sesuatu yang tidak berperadaban dan tidak layak untuk masa sekarang, seperti jihad, hudud, poligami, dan hukum-hukum syara’ lainnya.

Mereka menundukkan kajian terhadap nash-nash ajaran Islam di bawah metode berpikir ideologi Kapitalisme, yang menjadi fakta sebagai sumber hukum, bukannya sebagai tempat (objek) penerapan hukum, yang menetapkan kemanfaatan (kemaslahatan) sebagai standar untuk mengambil atau menolak suatu hukum, bukannya standar halal dan haram. Inilah yang men-dorong sebagian kaum muslimin untuk menciptakan beberapa kaidah untuk memahami Islam yang sebe-narnya tidak ada sandarannya dari nash-nash syara’, seperti fiqhul waaqi’ (penetapan hukum yang bertolak dari fakta dengan mengesampingkan nash syara’), fiqhul muwaazanaat (penetapan hukum berdasarkan pertimbangan manfaat dan mudlarat belaka), adl dlaruuratu tubiihul mahzhuuraat (kondisi darurat membolehkan hal-hal yang diharamkan), dan sebagai-nya. Hal ini telah mengakibatkan lunturnya sebagian hukum-hukum Islam serta hilangnya batas-batas pembeda antara ajaran yang palsu dan yang asli, antara kufur dan Islam, sehingga akhirnya riba menjadi mubah dan mati syahid dianggap bunuh diri.

Orang-orang kafir yang mengendalikan dialog antar agama itu selalu berupaya untuk memperumum dan memperluas medan dialog, sehingga dialog tidak hanya terbatas pada pada konferensi dan seminar saja, tetapi juga menjangkau seluruh komponen masyarakat; laki-laki dan perempuan, para intelektual dan pegawai/ buruh, yang dilaksanakan melalui jalur-jalur sekolah, perguruan tinggi, lembaga studi, partai politik, dan asosiasi (buruh, pengusaha, pengacara, pedagang, dan lain-lain). Jadi, seperti yang diungkapkan oleh para peserta konferensi, kegiatan ini memang merupakan pengintegrasian diri dengan peradaban Barat dalam aspek ekonomi, sosial, politik, pendidikan, dan lain-lain. Ideologi Kapitalisme --seperti yang mereka dakwakan-- dengan ide-ide humanisme dan rasio-nalisme, liberalisme dan demokrasi, dianggap sebagai peradaban modern yang sukses. Adapun Islam, dianggap agama taklid, mengajarkan kediktatoran, dan hanya berkutat pada warisan kebudayaan masa silam. Islam katanya mengajarkan kedaulatan agama, perbudakan, dan poligami. Islam tidak berperadaban!

Di antara teknik pengecohan atas kaum muslimin yang terjadi dalam konferensi-konferensi dialog antar agama, adalah adanya partisipasi peserta-peserta yang beraqidah lain, seperti orang Hindu, Budha, Sikh, dan lain-lain, di samping orang Islam, Kristen, dan Yahudi. Ini terjadi pada Konferensi Dunia untuk Agama dan Perdamaian di Jepang dan pada sebuah seminar di Beirut (Lebanon) pada tahun 1970. Tujuannya adalah agar kaum muslimin tidak berpraduga bahwa hanya mereka saja yang menjadi sasaran dialog antar agama. Heran, bagaimana mungkin mereka yang disebut ulama kaum muslimin itu menerima begitu saja Islam disetarakan dengan Budha dan agama-agama lain!

Pandangan Barat Yang Hakiki Terhadap Islam

Sesungguhnya pihak Barat yang menyerukan dialog dengan kaum muslimin dan memimpin berbagai konferensi dialog antar agama itu, memandang Islam dengan pandangan permusuhan. Pandangan inilah yang menjadi motif bagi dialog antar agama, yang dijadikan dasar untuk mengontrol dan mengatur kegiatan tersebut. Ensiklopedi Kebudayaan Perancis, yang menjadi referensi setiap peneliti, mendeskripsikan Muhammad Rasulullah SAW sebagai; “pembunuh, penculik para wanita, dan musuh terbesar bagi akal umat manusia.” Demikian pula halnya mayoritas literatur akademis di Eropa Barat, yang menjelaskan sifat Rasulullah SAW, Islam, dan kaum muslimin dengan sifat-sifat yang sangat keji.

Sementara itu, dalam buku The End of History karya pemikir Amerika Francis Fukuyama, terdapat sebuah pernyataan, ”Sistem Kapitalisme adalah babak penghabisan yang abadi bagi umat manusia di bumi. Akan tetapi Islam meskipun dalam kondisi lemah dan tercerai-berai, sesungguhnya tengah mengancam agama baru yang menang ini (yaitu, Kapitalisme).”

Sekjen NATO Willie Claise pernah mengatakan, ”Islam fundamentalis adalah bahaya yang mengancam geopolitik masa depan. ”Sedang orientalis Bernard Lewis menyatakan pandangannya ten-tang Islam dan Kapitalisme, ”Keduanya bertentangan satu sama lain. Tak mungkin ada dialog di antara keduanya.” Samuel P. Huntington, profesor ilmu-ilmu politik di Universitas Harvard Amerika, dan direktur Institut John M. Ulin untuk Studi-Studi Strategis di Universitas Harvard berkata, ”Sesungguhnya benturan antar peradaban nanti akan mendominasi politik luar negeri. Batas-batas pemisah antar peradaban di masa depan nantinya akan menjadi batas-batas konfrontasi antar peradaban. ”Dia kemudian mengatakan, ”Agama telah membedakan manusia dengan amat tegas dan jelas. Seseorang bisa saja setengah Perancis setengah Arab...Tetapi sangat sulit seseorang menjadi setengah Katholik setengah muslim.”

Jika demikian halnya pandangan Barat yang hakiki, lalu di mana sebenarnya dialog yang mereka serukan kepada kita dengan sikap permusuhannya itu?

Jika berbagai pernyataan di atas dikaitkan dengan berbagai aksi permusuhan yang dilakukan oleh Barat untuk melawan Islam dan umatnya --seperti Perang Salib, pembasmian umat Islam di Spanyol, penghan-curan Khilafah, lalu pendirian negara Yahudi di Palestina, pemberian predikat terorisme dan ekstrem-isme terhadap Islam dan gerakan-gerakan Islam-- niscaya kita akan dapat memahami target-target dari dialog antar agama yang diadakan oleh Barat yang kafir terhadap kaum muslimin.

Target-Target Dialog Antar Agama

Sesungguhnya target mendasar yang hendak diwujudkan oleh para kapitalis dari dialog antar agama dan antar peradaban itu, adalah menghalang-halangi kembalinya Islam ke dalam realitas kehidupan sebagai suatu sistem kehidupan yang menyeluruh, sebab sistem ini akan mengancam kelestarian ideologi dan peradaban mereka serta akan dapat memusnahkan segala kepen-tingan dan pengaruh mereka.

Target-target cabang lainnya untuk merealisasikan target mendasar itu cukup banyak. Misalnya, mereka berusaha untuk mewarnai dunia dengan warna (shibghah) peradaban Kapitalisme --utamanya wilayah-wilayah yang menjadi tempat hidup kaum muslimin-- untuk menggantikan peradaban Islam sehingga Barat dapat lebih mudah menghapus Tsaqafah Islamiyah dari benak kaum muslimin. Target ini diupayakan dengan menggoncang kepercayaan kaum muslimin terhadap Tsaqafah Islamiyah beserta sumber-sumber dan asas-asasnya. Tujuannya adalah untuk mengeluarkan Islam dari medan pertarungan peradaban dengan mengo-songkan Islam dari ciri khas terpenting yang membedakannya dari agama-agama lain --yaitu politik-- yang karenanya wajib didirikan negara Khilafah yang akan mengatur seluruh urusan rakyat sesuai hukum-hukum Islam dan mengemban risalah Islam kepada seluruh manusia.

Mereka juga berusaha untuk membentuk kepri-badian muslim dengan format kepribadian yang baru, yakni pribadi yang tidak akan merasa bersalah bila meninggalkan kewajiban dan mengerjakan keharaman. Mereka juga berusaha merusak perasaan Islami pada seorang muslim dan membunuh semangat (ghirah) Islam yang ada dalam jiwanya, sehingga muslim tersebut tidak mampu lagi membenci kekufuran dan orang kafir, serta tidak mau memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka bermaksud pula melenyapkan ketahanan budaya dalam tubuh umat Islam --yang dengannya dapat ditangkal setiap unsur pemikiran asing-- serta meratakan barikade-barikade berupa pola pikir (aqliyah) dan pola jiwa (nafsiyah) yang berpotensi mengancam eksistensi peradaban kapitalis di negeri-negeri Islam. Dengan demikian, diharapkan pemeliharaan atas segala pengaruh dan kepentingan mereka dapat berlangsung mudah yang pada gilirannya ini akan dapat menjamin kelestarian dan kesinambungan eksistensi mereka.

Dialog antar agama yang direkayasa oleh kaum kafir dan para penguasa negeri-negeri Islam yang menjadi agen mereka, yang didukung oleh kawan-kawan dekat penguasa tersebut dari kalangan ulama dan intelektual, sebenarnya bermaksud untuk menciptakan agama baru kaum muslimin yang didasarkan pada aqidah pemisahan agama dari kehidupan (sekulerisme). Padahal aqidah ini menetapkan bahwa membuat hukum adalah hak manusia, bukan hak Allah SWT yang telah menciptakan manusia. Mengenai para perekayasa dialog antar agama itu, Allah SWT telah berfirman :

وَلاَ يَزَالُوْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ حَتّى يَرُدُّوْكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوْا

“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran) seandainya mereka mampu.”

(QS Al Baqarah : 217)

Demikian pula Allah SWT berfirman :

وَلَنْ تَرْضى عَنْكَ الْيَهُوْدُ وَلاَ النًّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.”

(QS Al Baqarah : 120)

Karena peradaban Islam berasaskan Aqidah Islamiyah sementara peradaban Kapitalisme berasaskan aqidah kapitalis (pemisahan agama dari kehidupan), maka titik temu di antara keduanya hakikatnya tak mungkin ada. Jadi maksud dialog antar agama yang dipimpin oleh Barat yang kafir itu, adalah agar kaum muslimin melepaskan persepsi-persepsi Islam untuk kemudian digantikan dengan persepsi-persepsi kapi-talis, sebab Barat telah mengerti bahwa mengkom-promikan dua ideologi yang kontradiktif adalah hal yang mustahil.

Dialog antar agama dan antar peradaban untuk mencari titik temu di antara agama atau peradaban yang ada dan untuk menciptakan sebuah peradaban manusia yang baru, hanyalah sebuah ilusi belaka. Justru yang harus ada adalah pertarungan pemikiran (ash shira’ul fikri) di antara berbagai agama dan peradaban, agar dapat diketahui mana yang haq mana yang batil, mana yang mulia mana yang hina, dan mana yang baik mana yang buruk. Allah SWT berfirman :

فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي اْلأَرْضِ

“Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya. Adapun yang memberi manfaat pada manusia, maka ia tetap di bumi.” (QS Ar Ra’d : 17)

Dialog antar agama yang diserukan Barat kepada kita, sesungguhnya adalah dialog yang bersifat sepihak. Dialog ini diprakarsai oleh musuh-musuh Islam yang bertujuan untuk menghancurkan Islam, peradaban Islam, dan umat Islam itu sendiri. Karena itu, kaum muslimin harus mempersiapkan segala sarana per-tarungan yang memadai, yang hanya dapat terwujud dengan kembalinya negara Khilafah. Negara Khilafah inilah yang akan terjun langsung ke dalam pertarungan fisik/jihad (ash shira’ul maadi), di samping pertarungan pemikiran (ash shira’ul fikri), dalam rangka menyebar-luaskan peradaban Islam yang bermutu tinggi dan untuk memusnahkan peradaban kapitalis yang palsu dan bejat.

Perbincangan Tentang Anak-Cucu Nabi Ibrahim AS

Perbincangan ini bertujuan untuk memperkuat legitimasi dialog antara tiga agama, dengan anggapan dasar bahwa agama samawi yang tiga itu telah dibawa oleh Nabi Muhammad, Isa, dan Musa AS, yang mem-punyai Bapak yang satu, yaitu Ibrahim AS. Karena itu, pemeluk ketiga agama itu harus hidup berdampingan secara damai, karena mereka secara agama adalah berasal dari satu keturunan.

Ini dari satu segi. Dari segi lain, perbincangan ini adalah untuk mendukung apa yang disebut “proses perdamaian” dan pembukaan hubungan diplomatik dengan Yahudi, serta melancarkan satu poin di antara poin-poin konspirasi Barat-Yahudi atas Islam dan kaum muslimin, yaitu mencaplok Palestina dan Masjidil Aqsha dan menancapkan pisau beracun dalam dada umat Islam. Juga untuk menjustifikasi kerjasama orang Yahudi, Kristen, dan Islam guna menjalankan otoritas keagamaan dalam pengelolaan kota Yerussalem, yang telah dianggap tempat suci untuk tiga agama. Sebab, orang Yahudi, Kristen, dan Islam kata-nya adalah orang-orang muslim yang berasal dari agama yang satu, yaitu agama Ibrahim AS, Bapak para nabi (Abul Anbiyaa`).

Untuk menjelaskan kekeliruan pemikiran ini sekaligus untuk membantahnya, harus dijelaskan 3 (tiga) poin berikut :

Pertama, Aspek Bahasa. Kata “aslama” di antara makna bahasanya adalah “inqaada” (tunduk, patuh, berserah diri). Al Qur`an telah menggunakan makna bahasa ini dalam kisah para nabi dan pemberian sifat para nabi itu sebagai orang-orang yang tunduk-patuh kepada perintah Allah SWT. Allah SWT telah berfirman melalui perkataan Nabi Nuh AS, nabi sebelum Ibrahim AS:

إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى اللهِ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُوْنَ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

“Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya).” (QS Yunus : 72)

Allah SWT berfirman melalui perkataan Nabi Nabi Ibrahim dan Isma’il AS :

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَّكَ

“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau.” (QS Al Baqarah : 128)

Allah berfirman tentang kaum Nabi Luth AS :

فَمَا وَجَدْنَا فِيْهَا غَيْرَ بَيْتٍ مِنَ اْلمُسْلِمِيْنَ

“Dan Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang yang berserah diri.”

(QS Adz Dzaariyaat : 36)

Allah SWT berfirman melalui perkataan Nabi Musa AS:

فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوْا إِنْ كُنْتُمْ مُسْلِمِيْنَ

“Maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang-orang yang berserah diri.”

(QS Yunus : 84)

Allah SWT berfirman melalui perkataan para Hawa-riyin (pengikut-pengikut setia Nabi Isa AS) :

آمَنَّا بِاللهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُوْنَ

“Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang menye-rahkan diri.” (QS Ali ‘Imraan : 52)

Dengan demikian, jelas bahwa kata “muslimun” yang terdapat dalam berbagai ayat tersebut maknanya adalah “munqaaduun” (orang-orang yang patuh, tunduk, berserah diri). Jadi bukan berarti mereka itu memeluk agama yang satu, yaitu Islam yang diturunkan kepada Muhammad SAW, sebab Islam belum dikenal oleh mereka, disamping mereka memang belum diperintahkan untuk memeluk Islam. Setiap kaum dari mereka mempunyai seorang rasul yang khusus bagi mereka. Dan setiap rasul itu menyeru mereka kepada syari’at (aturan) yang khusus. Allah SWT berfirman :

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا

“Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan syari’at (aturan) dan jalan yang terang.”

(QS Al Maa`idah : 48)

Setelah turunnya wahyu kepada Muhammad SAW, wahyu tersebut telah mengarahkan perhatiannya pada beberapa kata Arab tertentu, lalu memindahkan dari makna bahasa yang dibuat pertama kali untuknya, kepada makna syar’i yang dijelaskan oleh nash-nash syara’ dari Al Qur`an dan As Sunnah. Di antara kata-kata yang telah dipindahkan maknanya ialah kata “Islam”. Makna bahasanya adalah “inqiyaad” (tunduk, patuh, berserah diri). Tetapi makna syar’inya adalah agama yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya Muhammad SAW. Makna ini misalnya terdapat dalam Allah SWT yang ditujukan untuk semua manusia sampai Hari Kiamat :

وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا

“...dan telah Kuridlai Islam itu jadi agama bagi kalian.“

(QS Al Maa`idah : 3)

Juga dalam firman-Nya :

وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”

(QS Ali ‘Imraan : 85)

Dan juga dalam sabda Rasulullah SAW :

بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ …

“Islam dibangun atas dasar lima perkara...”

Sebagaimana diketahui, agama-agama selain Islam tidak dibangun atas dasar lima perkara seperti tersebut dalam hadits.

Setelah pemindahan kepada makna syar’i untuk kata “Islam”, maka semua kata yang berasal dari kata “Islam” --seperti fi’il “aslama”, dan isim fa’il “muslim”-- jika diucapkan tanpa suatu qarinah (indikasi), berarti yang dimaksud adalah makna syar’inya, bukan yang lain. Apabila dimaksudkan untuk menunjukkan makna bahasa yang dibuat pertama kali untuknya, diperlukan qarinah yang mengalihkan dari makna syar’inya. Misalnya firman Allah SWT :

مَا كَانَ إِبْرَاهِيْمُ يَهُوْدِيًّا وَلاَ نَصْرَانِيًّا وَلكِنْ كَانَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri (kepada Allah).”

(QS Ali ‘Imraan : 67)

Ini tidak berarti bahwa Ibrahim AS adalah penganut agama yang diturunkan oelh Allah kepada Muhammad SAW (agama Islam), tetapi artinya, Ibrahim AS tunduk-patuh (munqaadun) kepada apa yang diturunkan Allah kepadanya, dan dia bukanlah orang Yahudi atau Nashara yang telah mengubah-ubah agama para nabi mereka.

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad, Isa, dan Musa telah mengikuti agama Ibrahim, maksudnya adalah mereka itu mengimani aqidah yang sama, yang merupakan dasar (pokok) dari setiap agama yang berasal dari sisi Allah. Inilah yang dimaksud oleh firman Allah SWT :

شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصّى بِهِ نُوْحًا وَالَّذِيْ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى وَعِيْسَى أَنْ أَقِيْمُوْا الدِّيْنَ وَلاَ تَتَفَرَّقُوْا فِيْهِ...

“Dia telah mensyari’atkan bagi kalian tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu ,’Tegakkan agama dan janganlah kalian berpecah belah tentangnya. (QS Asy Syuura : 13)

Jadi agama yang terdapat dalam ayat di atas adalah dasar/pokok agama (ashlud diin), yakni aqidah. Akan tetapi syari’at mereka tidak sama, karena ayat tersebut telah ditakhsis (dikecualikan) oleh firman Allah SWT :

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا

“Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS Al Maa`idah : 48)

Kedua, Aspek Hukum Syara’. Allah SWT telah mengutus Muhammad SAW sebagai penutup para nabi kepada seluruh umat manusia, dimana mereka semua dituntut untuk meninggalkan agama-agama mereka --baik samawi maupun bukan-- dan mengambil Islam sebagai agama mereka. Barangsiapa yang memenuhi tuntutan ini, berarti telah masuk Islam, sedang yang tidak memenuhinya, berarti telah kafir. Allah SWT berfirman :

وَقُلْ لِّلَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ وَاْلأُمِّيِّيْنَ ءَ أَسْلَمْتُمْ فَإِنْ أَسْلَمُوْا فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْكَ اْلبَلاَغُ وَاللهُ بَصِيْرٌ بِالْعِبَادِ

“Dan katakanlah kepada orang-orang yang diberi Al Kitab dan orang-orang yang ummi,’Apakah kalian (mau) masuk Islam)? ’Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling,maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hanba-Nya.”

(QS Ali ‘Imraan : 20)

Allah SWT berfirman :

لَمْ يَكُنِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِيْنَ مُنْفَكِّيْنَ حَتّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ. رَسُوْلٌ مِّنَ اللهِ...

“Orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (yaitu) seorang rasul dari Allah (Muhammad)...” (QS Al Bayyinah : 1-2)

Jadi, orang-orang Ahli Kitab dan musyrik itu tidak dapat dikatakan meninggalkan kekufuran, kecuali dengan cara masuk Islam, yakni mengikuti agama Muhammad SAW. Selain itu Rasulullah SAW juga pernah bersabda :

وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِيَّ أَحَدٌ مِنْ هذِهِ اْلأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

“Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seseorang dari umat manusia ini, baik dia Yahudi maupun Nashrani, lalu dia tidak mengimani risalah yang aku bawa, kecuali dia termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim)

Walhasil, seluruh umat manusia telah diseru untuk memeluk Islam. Siapa saja yang tidak mau memeluk Islam setelah diajukan hujjah baginya, berarti dia secara pasti adalah orang kafir. Orang-orang Yahudi dan Kristen yang hidup setelah diutusnya Nabi Muhammad SAW, jika mereka tetap saja menganut agama mereka masing-masing, maka mereka adalah orang-orang kafir, menurut nash Al Qur`an. Haram hukumnya mensifati mereka sebagai muslim. Barang siapa beri’tiqad bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen --serta penganut agama lain selain mereka-- adalah orang-orang muslim, sungguh dia telah kafir. Karena dengan i’tiqadnya itu dia telah mengingkari nash-nash syara’ yang qath’i tsubut (pasti sumbernya) dan qath’i dalalah (pasti maknanya). Jika dia mati dalam keadaan seperti itu, maka dia termasuk penghuni neraka.

Ketiga, Perbincangan Tentang Anak-Cucu Ibrahim AS. Sebenarnya perbincangan ini menyeru kepada ikatan kebangsaan (rabithah qaumiyah), yang pada faktanya merupakan ikatan yang emosional dan ber-mutu rendah, yang lahir dari naluri mempertahankan diri (gharizatul baqa). Ikatan ini tidak manusiawi, sebab tidak layat untuk menjadi pengikat seorang manusia dengan manusia lain tatkala keduanya berbeda dalam hal asal keturunan (nasab).

Ikatan anak-cucu Nabi Ibrahim AS telah terhapus oleh jaman, tidak ada lagi faktanya dalam kehidupan, sebab orang-orang yang bernasab kepada Ibrahim dan keturunannya telah bercampur baur dengan bangsa-bangsa lain, dikarenakan hubungan perkawinan, per-gaulan, imigrasi, dan peperangan. Maka kini sangat sulit, bahkan mustahil, membedakan mereka dari manusia yang lain. Di samping itu, para pengikut ketiga agama tersebut berasal dari segala bangsa dan suku yang ada di dunia, yang masing-masing telah terintegrasi atas dasar agama, bukan atas dasar asal usul keturunan. Maka dari itu, sebutan “Anak-Cucu Ibrahim” untuk orang-orang Islam, Yahudi, dan Kristen, juga untuk orang-orang yang tinggal di sekitar Masjidil Aqsha atau yang lainnya, adalah sebutan yang gegabah, serampangan, lagipula tidak benar. Maksud sebenarnya adalah untuk memerangi Islam, menjustifikasi proses perdamaian yang dipaksakan, serta meligitimasi pembukaan hubungan diplomatik dengan negara Yahudi yang bercokol di tanah kaum muslimin yang dirampas. Semua ini adalah dalam rangka memberikan legalitas terhadap tindakan kriminal yang sangat menjijikkan yang telah diperbuat oleh para penguasa yang berkhianat atas dasar suruhan para majikan mereka yang kafir.

Ikatan kebangsaan atau ikatan kekeluargaan (rabithah usriyah), seperti halnya ikatan anak-cucu Ibrahim AS, tidak dibenarkan oleh syara’ untuk dijadikan asas pengaturan interaksi di antara manusia. Allah SWT berfirman :

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيْلِهِ فَتَرَبَّصُوْا حَتّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الفَاسِقِيْنَ

“Katakanlah,’Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, dan kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS At Taubah : 24)

Jelaslah bahwa perintah Allah SWT, lebih tinggi kedudukannya daripada ikatan kebangsaan atau ikatan kekeluargaan, atau aspek kemanfaatan. Allah SWT telah menjelaskan kepada para nabi sebelumnya mengenai le-mahnya ikatan-ikatan seperti itu. Allah SWT berfirman:

وَنَادَى نُوْحٌ رَّبَّهُ فَقَالَ:رَبِّ إِنَّ ابْنِيْ مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِيْنَ. قَالَ: يَا نُوْحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ...

“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata, ’Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya’. Allah berfirman, ’Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan disela-matkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik.” (QS Huud : 45-46)

Allah SWT berfirman mengenai Ibrahim AS :

قَالَ: إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ: وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قاَلَ: لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِيْنَ

“Allah berfirman, ’Sesungguhnya Aku akan menjadi-kanmu imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata, ’(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.’ Allah berfirman, ’Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.” (QS Al Baqarah : 124)

Ayat di atas menerangkan, bahwa anak Nabi Nuh AS dalam pandangan syara’ bukanlah termasuk keluarganya, sebab dia tidak beriman dengan risalah yang diturunkan Allah kepada ayahnya. Demikian pula, orang-orang zhalim dari keturunan Nabi Ibrahim AS dikecualikan dari janji Allah untuk mendapat kepe-mimpinan, sebab mereka tidak mengikuti risalah yang diturunkan Allah kepada Bapak mereka, Ibrahim AS.

Oleh sebab itu, propaganda ide “Anak-Cucu Ibrahim AS” saat ini sesungguhnya adalah propaganda jahiliyah yang bersifat politis dan sangat tendensius. Haram hukumnya menyerukan dan mempromosikan ide ini, sebab maksud hakiki dari ide itu adalah untuk memerangi Islam, memalingkan kaum muslimin dari agamanya, menjustifikasi proses perdamaian yang khianat dengan Yahudi yang kafir, menyerahkan kepada mereka bumi Palestina yang mereka jarah, mengesahkan hubungan diplomatik dengan mereka, serta menerima eksistensi negara Israel di Timur Tengah.

JALAN TENGAH

(SIKAP MODERAT/KOMPROMI)

Istilah jalan tengah (kompromi/sikap moderat) tidak muncul di tengah-tegah kaum muslimin kecuali pada masa modern kini. Jalan tengah adalah istilah asing yang bersumber dari Barat dengan ideologi Kapitalismenya. Sebab, ideologi inilah yang telah membangun aqidahnya atas dasar jalan tengah, sebagai suatu kompromi yang lahir akibat pertarungan berdarah antara gereja dan para raja yang mengikutinya di satu pihak, dengan para pemikir dan filosof Barat di pihak lain. Pihak pertama memandang agama Kristen adalah agama yang layak untuk mengatur seluruh urusan kehidupan. Sementara pihak kedua memandang bahwa agama Kristen tidak layak untuk itu --karena Kristen dianggap penyebab kehinaan dan ketertinggalan-- dan bahwa akal manusialah yang mampu menciptakan peraturan yang layak untuk mengatur segala urusan kehidupan.

Setelah pertarungan yang sengit antara dua pihak ini, mereka menyepakati suatu jalan tengah, yaitu mengakui eksistensi agama sebagai interaksi manusia dengan Tuhan, tetapi agama tidak diberi hak turut campur dalam kehidupan dan harus menyerahkan pengaturan urusan kehidupan kepada manusia. Kemudian mereka menjadikan ide pemisahan agama dari kehidupan sebagai aqidah bagi ideologi nereka, yang darinya terlahir sistem Kapitalisme. Atas dasar sistem ini mereka mampu meraih kebangkitan lalu menyebarluaskan sistem ini kepada manusia lain melalui jalan penjajahan (imperialisme).

Pengaruh prinsip jalan tengah yang menjadi lan-dasan aqidah mereka itu, akhirnya menjadi ciri menonjol dalam setiap hukum atau perilaku penganut ideologi Kapitalisme, terutama dalam masalah-masalah politik. Dalam masalah Palestina, misalnya, kaum muslimin menuntut agar seluruh bumi Palestina menjadi negeri mereka. Pada saat yang sama, pihak Yahudi mengklaim Palestina sebagai tanah yang dijanjikan Allah bagi mereka, sehingga semuanya adalah milik mereka. Negara-negara Barat yang kapitalis pun kemudian menyodorkan suatu solusi pada tahun 1948, yaitu rencana pembagian tanah untuk mendirikan dua negara di Palestina, satu untuk Arab, dan satu lagi untuk Yahudi. Pemecahan jalan tengah ini nampak jelas dalam berbagai masalah internasional yang dikendalikan oleh negara-negara Kapitalis, seperti masalah Kashmir, Cyprus, Bosnia, dan sebagainya.

Prinsip tersebut selanjutnya menjadikan kebijakan mereka selalu bertumpu pada kedustaan dan peng-hindaran diri dari masalah. Tidak ditujukan untuk memperoleh semua hak yang seharusnya dimiliki, tetapi hanya sebagian hak saja, entah sedikit atau banyak. Jadi prinsip tersebut tidak ditujukan untuk meraih semua hak, tetapi untuk mencapai suatu kompromi dari kedua belah pihak Ini bukan karena prinsip itu benar, melain-kan karena mempertimbangkan kondisi setiap pihak dari segi kekuatan dan kelemahannya. Pihak yang kuat mengambil bagian yang diinginkannya jika dia mampu, sedang pihak yang lemah melepaskan bagian yang tidak mampu didapatkannya (prinsip take and give).

Alih-alih mengkritik dan menerangkan kekeliruan atau kepalsuan ide jalan tengah, sebagian kaum mus-limin malah mengambilnya dan menyerukan bahwa ide tersebut ada dalam ajaran Islam, dan bahkan Islam itu dikatakan berdasarkan prinsip jalan tengah. Dikatakan bahwa Islam itu terletak di antara spiritualisme dan materialisme, antara individualisme dan kolektivisme, antara realistis dan idealis, antara ketetapan dan perubahan. Islam katanya tidak mengenal sikap berlebih-lebihan dan sikap lalai, tidak melampaui batas juga tidak kurang dari batas.

Untuk membuktikan pendapat ini, mereka me-lakukan pengkajian terhadap segala suatu fakta yang ada. Mereka menyimpulkan bahwa segala sesuatu mempunyai dua ujung dan titik tengah. Titik tengah adalah daerah yang aman, sementara kedua ujung selalu terancam bahaya dan kerusakan.Titik tengah adalah pusat kekuatan serta daerah kesetaraan dan keseim-bangan bagi dua ujung. Selama titik tengah atau jalan tengah memiliki keistimewaan-keistimewaan ini, maka tak heran jika prinsip jalan tengah senantiasa nampak dalam setiap segi ajaran Islam. Jadi, Islam adalah pertengahan antara keyakinan dan peribadatan, pertengahan antara hukum dan akhlaq.

Setelah menganalogikan secara akliah hukum-hukum Islam dengan fakta benda-benda yang ada, mereka mencari bukti lain dalam nash-nash syara’. Mereka mengalahkan nash-nash syara’ tersebut, lalu menundukkannya di bawah pemahaman baru mereka agar bisa cocok dengan pendapat mereka itu. Mereka dapatkan firman Allah SWT :

وَكَذلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا…

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.”

(QS Al Baqarah : 143)

Mengenai ayat tersebut, mereka berkata bahwa kedudukan pertengahan umat Islam diambil dari metode (manhaj) dan peraturan hidup (nizham) umat yang bersifat tengah-tengah. Di dalamnya tak ada sikap berlebih-lebihan ala Yahudi, dan tidak ada sikap meremehkan ala Nashara. Mereka mengatakan bahwa kata “wasath” artinya adalah “adil”. Dan “adil” --menurut sangkaan mereka-- adalah pertengahan antara dua ujung yang saling bertentangan. Dengan demikian mereka mengartikan “adil” dalam pengertian “per-damaian” (shulhu), demi untuk mendukung prinsip jalan tengah.

Padahal makna yang sahih untuk ayat itu adalah, bahwa umat Islam itu merupakan umat yang adil. Sementara keadilan (‘adaalah), termasuk salah satu syarat seorang saksi dalam Islam. Jadi maksudnya, umat Islam ini nanti akan menjadi saksi yang adil bagi umat-umat lain (pada Hari Kiamat), bahwa umat Islam telah menyampaikan risalah Islam kepada mereka. Meskipun ayat ini berbentuk kalimat berita (ikhbar), tetapi mengandung tuntutan (thalab) dari Allah SWT kepada umat Islam agar menyampaikan Islam kepada umat-umat lain. Jika umat Islam tidak mengerjakan tugas ini, mereka akan berdosa. Dengan demikian, umat Islam umat Islam akan menjadi hujjah (sebagai saksi yang adil) bagi umat-umat lain. Hal ini sama halnya dengan Rasulullah SAW, yang nanti akan menjadi hujjah atas umat Islam bahwa beliau telah menyampaikan risalah Islam kepada mereka. Allah SWT berfirman:

لِيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ شَهِيْدًا عَلَيْكُمْ

“...supaya Rasul itu menjadi saksi atas diri kalian.”

(QS Al Hajj : 78)

Ayat di atas menerangkan bahwa Rasulullah SAW akan menjadi hujjah atas umat Islam (di Hari Kiamat nanti), bahwa beliau telah menyampaikan risalah Islam kepada mereka. Dan Rasulullah SAW juga telah memerintahkan umat Islam untuk menyampaikan risalah Islam kepada umat yang lain. Rasulullah SAW bersabda :

أَلاَ فَلْيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ

“Perhatikanlah! Hendaklah orang yang menyaksikan (hadir) menyampaikan kepada orang yang tidak hadir.”

Mereka berdalil juga dengan firman Allah SWT :

وَالَّذِيْنَ إِذَا أَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذلِكَ قَوَامًا

“Dan (hamba-hamba Allah yang Maha Pengasih adalah) orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS Al Furqaan : 67)

Berdasarkan ayat ini, mereka menetapkan bahwa dalam infaq (pembelanjaan harta) itu ada dua ujung; yaitu berlebih-lebihan (israf) dan kikir (taqtir/bakhil). Mereka menetapkan adanya jalan tengah dalam infaq, yaitu pertengahan (qawam). Dan ini, menurut pan-dangan mereka, adalah dalil mengenai jalan tengah dalam berinfaq.

Mereka tidak menyadari bahwa makna ayat itu adalah, bahwa terdapat 3 (tiga) macam infaq, yaitu berlebih-lebihan, kikir, dan pertengahan. Berlebih-lebihan (israf/tabdziir) adalah infaq dalam perkara yang haram, baik itu sedikit maupun banyak. Jika seseorang membelanjakan satu dirham untuk membeli khamr, atau untuk berjudi, atau untuk menyuap, maka ini adalah infaq yang berlebih-lebihan (israf), yang hukumnya adalah haram. Adapun kikir (taqtir/bakhil) adalah mencegah diri untuk berinfaq pada perkara yang wajib. Jadi kalau misalkan seseorang tidak membayar satu dirham dari zakat mal yang wajib dikeluarkannya, atau tidak menafkahi orang-orang yang wajib dia beri nafkah, maka ini adalah kikir, yang hukumnya haram. Adapun infaq yang pertengahan (qawam), adalah membelanjakan harta sesuai tuntunan hukum-hukum syara’, baik banyak maupun sedikit. Memuliakan seorang tamu dengan menyuguhkan seekor kambing, atau seekor ayam, atau seekor unta, adalah infaq yang pertengahan yang hukumnya halal.

Hal ini karena Allah SWT berfiman :

بَيْنَ ذلِكَ

“...di antara yang demikian itu...”

Ayat di atas tujuannya untuk menunjukkan adanya 3 (tiga) macam infaq, yaitu berlebih-lebihan, kikir, dan pertengahan. Satu macam dari ketiga macam infaq itu adalah perkara yang dituntut oleh syara’, yaitu yang pertengahan (qawam). Allah tidak mengatakan “baina dzalikuma” (di antara keduanya) untuk menunjukkan pertengahan adalah di antara dua hal yang berbeda.

Maka dari itu, dalam Islam tak ada yang namanya kompromi atau jalan tengah. Karena Allah SWT --yang menciptakan manusia dan mengetahui hakikat-nya dengan suatu pengetahuan yang tidak mungkin di-jangkau oleh manusia itu sendiri-- adalah satu-satu-nya pihak yang mampu mengatur kehidupan manusia secara cermat dan teliti, yang tidak akan mungkin dicapai oleh seorang pun. Hukum-hukum Allah datang dengan batas-batas yang tegas, tak ada kesan sedikit pun bahwa di dalamnya ada kompromi atau jalan tangah. Sebab, memang tak ada kompromi atau jalan tengah dalam nash-nash dan hukum-hukum Islam. Bahkan sebaliknya, berbagai nash dan hukum Islam itu sangatlah teliti, terang, dan jelas batas-batasnya, se-hingga Allah menamakannya ”hudud” (batas-batas), dikarenakan ketelitian dan kecermatannya. Allah SWT berfirman :

وَتِلْكَ حُدُوْدُ اللهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ

“Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (QS Al Baqarah : 230)

Allah SWT berfirman pula :

وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُوْدَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيْهَا

“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkan-nya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya.” (QS An Nisaa` : 14)

Adakah kompromi atau jalan tengah dalam sabda Rasulullah SAW kepada pamannya Abu Thalib, ketika kaum Quraisy menawarkan kepada beliau pangkat, harta, dan kehormatan agar beliau mau meninggalkan Islam :

وَاللهِ يَا عَمِّ لَوْ وَضَعُوا الشَّمْسَ فِيْ يَمِيْنِيْ وَالْقَمَرَ فِيْ يَسَارِيْ عَلَى أَنْ أَتْرُكَ هذَا اْلأَمْرَ حَتّى يُظْهِرَهُ اللهُ أَوْ أَهْلِكُ فَيْهِ مَا تَرَكْتُهُ

“Demi Allah! Wahai Paman! Andaikata mereka mele-takkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan perkara ini (Islam), niscaya aku tak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkan perkara itu atau aku hancur karenanya!”

Adakah pula jalan tengah dalam sabda Rasulullah kepada qabilah Banu ‘Amir bin Sha’sha’ah, ketika mereka meminta kekuasaan sepeninggal beliau sebagai kompensasi dari pertolongan yang mereka berikan kepada beliau :

أَْلأَمْرُ اللهِ يَضَعُهُ حَيْثُ يَشَاءُ

“Perkara ini (kekuasaan) adalah milik Allah, yang akan diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.”

Jelaslah, sikap kompromi atau jalan tengah adalah ide yang sangat asing dalam pandangan Islam, yang hendak disusupkan ke dalam ajaran Islam oleh orang-orang Barat dan agen-agennya dari kalangan kaum muslimin. Caranya ialah dengan memasarkan ide tersebut kepada kaum muslimin atas nama keadilan dan toleransi, dengan maksud untuk menyimpangkan kaum muslimin dari ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum Islam yang telah jelas batas-batasnya.

FUNDAMENTALISME

Istilah fundamentalisme muncul pertama kali di Eropa pada akhir abad ke-19, untuk menunjukkan sikap gereja terhadap ilmu pengetahuan (sains) dan filsafat modern serta sikap konsisten mereka yang total terhadap agama Kristen.

Gerakan Protestan dianggap sebagai awal mula munculnya fundamentalisme. Mereka telah menetap-kan prinsip-prinsip fundamentalisme pada Konferensi Bibel di Niagara tahun 1878 dan Konferensi Umum Presbyterian tahun 1910, dimana saat itu mulai terkris-talisasi ide-ide pokok yang mendasari fundamental-isme. Ide-ide pokok ini didasarkan pada asas-asas teologi Kristen, yang bertentangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang lahir dari ideologi Kapitalisme yang berdasarkan aqidah pemisahan agama dari kehidupan.

Meskipun gerakan Protestan ini telah padam karena Perang Dunia II, tetapi telah tertancap dalam benak orang-orang Eropa bahwa fundamentalisme adalah musuh kemajuan dan ilmu pengetahuan, keter-belakangan pola pikir yang tidak selaras dengan masa kebangkitan, serta wajib diperangi hingga seluruh pengaruhnya musnah dari kehidupan masyarakat.

Jelas bahwa fundamentalisme itu muncul di Eropa, karena adanya pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang muncul setelah pemisahan agama Kristen dari kehidupan. Fundamentalisme merupakan reaksi yang lahir dari ketidakmampuan agama Kristen untuk beradaptasi dengan sistem kehidupan baru yang lahir dari aqidah ideologi Kapitalisme (pemisahan agama dari kehidupan). Ketidakmampuan itu telah mendorong mereka yang mengimani agama Kristen untuk mengambil sikap penolakan terhadap segala bentuk kemajuan materi dan peradaban Barat. Tetapi gerakan yang dinamakan fundamentalisme ini akhirnya gagal dan punah, karena lemah dalam menyodorkan solusi yang praktis untuk mengatasi berbagai problem kehidupan, dan karena tujuan gerakan ini adalah me-nentang ilmu pengetahuan, seni, dan berbagai ide yang tidak sesuai dengan keyakinan orang-orang Kristen.

Maka dari itu, pemberian predikat fundamental-isme pada beberapa gerakan Kristen dan Yahudi, sumbernya adalah dari Barat, yang artinya, gerakan-gerakan agama tersebut adalah penentang kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang terlahir dari penerapan ideologi Kapitalisme.

Pemberian predikat fundamentalisme untuk banyak gerakan Islam dan para aktivis gerakan Islam belakangan ini oleh para politisi dan intelektual Barat, juga penumpasan oleh sebagian kaum muslimin terha-dap para aktivis itu, tujuannya adalah untuk memerangi dan melawan gerakan-gerakan tersebut. Juga untuk membentuk opini umum internasional guna melawan siapa saja yang disebut fundamentalis, karena menurut mereka, fundamentalisme adalah keterbelakangan dan kemunduran serta penentangan terhadap segala kema-juan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Hanya dengan mencap satu pihak sebagai funda-mentalis, sudah cukup pihak itu dianggap berbahaya bagi peradaban modern yang materialistik dan bagi kehidupan masyarakat. Predikat itu lalu digunakan sebagai pembenaran terhadap tindakan-tindakan yang diambil --yang sangat kejam dan biadab-- untuk melawan dan memerangi pihak tersebut. Ketika suatu negara --seperti Mesir, Aljazair, dan lain-lain—menja-tuhkan hukuman mati kepada orang-orang Islam yang dicap fundamentalis, dia akan meraih dukungan opini dari Dunia Barat. Sebaliknya, lembaga-lembaga pem-bela HAM tidak akan marah sebab yang dihukum mati itu --menurut lembaga-lembaga ini-- adalah kaum fundamentalis yang menentang nilai-nilai kemanusiaan. Apalagi, mereka telah pula dituduh sebagai pelaku semua aksi-aksi yang mengerikan, seperti pembantaian rakyat tak berdosa di Aljazair dan pembunuhan para turis dan orang sipil di Mesir.

Tak hanya itu, cap fundamentalisme ini juga di-berikan kepada setiap gerakan atau partai yang berjuang mengubah kehidupan kaum muslimin yang sangat buruk menuju kehidupan Islam, dengan jalan mengem-balikan Khilafah dan hukum Islam. Cap itu juga diberi-kan kepada setiap gerakan yang melawan para agresor serta perampas tanah dan hak kaum muslimin, seperti orang-orang Yahudi, Serbia, Ame-rika, dan lain-lain. Jadi para mujahidin muslim yang membunuh musuh-musuh yang telah merampas tanah mereka, disebut para fundamentalis dan teroris. Para pejuang yang mati syahid demi untuk menghancurkan kekuatan musuh asing, disebut pelaku bunuh diri dan tindakan kriminal!

Pemberian predikat fundamentalisme mengandung bahaya bagi setiap muslim dan setiap gerakan penen-tang kezaliman dan pendudukan. Juga mengandung bahaya bagi setiap partai yang berjuang dengan metode syar’i untuk melanjutkan kehidupan Islam. Sebab, pemberian predikat tersebut tujuannya adalah untuk mendapatkan legitimasi dari undang-undang untuk memberangus siapa saja yang menyerukan kembalinya Islam dalam kehidupan, dengan dalih gerakan Islam adalah gerakan fundamentalis seperti halnya gerakan-gerakan fundamentalis Kristen dan Yahudi yang telah memerangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa kebangkitan Kapitalisme. Pemilihan istilah fundamentalisme itu sendiri untuk mencap gerakan-gerakan Islam, sebenarnya dilatarbelakangi oleh konteks historis yang khas dalam opini umum Dunia Barat, yang bertujuan agar bangsa-bangsa Barat beserta para pe-nguasanya dapat mencegah kembalinya “Islam Politik” dalam bentuk negara dan sistem kehidupan.

Hendaknya tidak terlintas dalam benak seorang muslim, bahwa penyebutan gerakan-gerakan Islam dengan istilah fundamentalis itu berhubungan dengan istilah ushuludin (fundamen/dasar agama) dan ushul fiqih (fundamen/dasar fiqih). Sebab, ushuludin dalam Islam adalah Aqidah Islamiyah, yaitu iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan Qadar (Taqdir). Sedang ushul fiqih, adalah kaidah-kaidah yang menjadi landasan adanya fiqih, yang digunakan oleh seorang mujtahid untuk mengistinbath hukum-hukum syara’ yang amaliah dari dalil-dalilnya yang terperinci.

Sesungguhnya fundamentalisme menurut termino-logi Barat sebagaimana yang dibawa oleh gerakan Kristen Protestan, beserta tujuan yang mendasari keberadaan gerakan tersebut, sangat jauh dari persepsi-persepsi Islam dan gerakan-gerakan Islam, baik gerakan yang ada masa kini maupun yang pernah ada dalam sejarah. Dalam sejarah kaum muslimin memang telah muncul berbagai gerakan politik, aliran pemikiran, dan madzhab fiqih. Tetapi semua itu tidak mirip sedikit pun dengan gerakan-gerakan fundamentalis Kristen. Bahkan mereka yang menyerukan ditutupnya pintu ijtihad pada abad VII H, tidak mengatakan bahwa langkah itu adalah untuk memelihara ajaran lama dan menentang ajaran baru, tetapi karena mereka menduga bahwa fiqih Islam yang telah disusun oleh ulama salaf telah mencakup setiap masalah yang mungkin akan dihadapi orang di kemudian hari.

Islam adalah agama yang unik yang berbeda dengan agama-agama samawi lainnya, yakni Islam adalah agama samawi terakhir dan penghapus agama samawi sebelumnya. Allah SWT telah menjamin pemeliharaan Islam sebagaimana ia diturunkan sampai Hari Kiamat nanti. Allah SWT berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.”

(QS Al Hijr : 9)

Keunikan lainnya, Islam adalah suatu ideologi yang menyeluruh dan sempurna, yang didasarkan pada aqidah yang dibangun atas dasar akal, yang darinya lahir peraturan hidup yang menyeluruh untuk meng-atasi segala problem kehidupan manusia sampai Hari Kiamat. Tidak ada kesan bahwa Islam itu lemah dalam memberikan keterangan hukum syara’ untuk problem apa pun yang akan dihadapi manusia. Sebab Allah SWT berfirman :

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ

"Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur`an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu.”

(QS An Nahl : 89)

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pernah ditunjukkan Dunia Islam dahulu, adalah hasil penerapan Islam dalam kehidupan, bukan hasil dari pemisahan agama Islam dari kehidupan. Kemajun ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada di dunia kini, berhutang budi kepada para ulama Islam yang telah me-rumuskan berbagai teori dan hukum yang mendasar, di bawah naungan kehidupan Islam dan Daulah Islamiyah.

Maka dari itu, predikat fundamentalisme yang dile-katkan pada Islam dan gerakan-gerakan Islam sebagai-mana dilekatkan pada gerakan Kristen, adalah predikat yang salah dan tendensius. Tidak sesuai dengan fakta ajaran Islam dan fakta orang-orang yang berjuang me-ngembalikan Islam dalam kehidupan. Sebab, mereka berusaha untuk mengubah realitas kehidupan kaum muslimin yang buruk, yang merupakan hasil dari pene-rapan sistem buatan manusia dalam kehidupan. Ini jelas bertolak belakang dengan aktivitas gerakan-gerakan fundamentalis Kristen yang berusaha meles-tarikan pola kehidupan orang Kristen sebelum era kapitalisme, baik secara formal maupun substansial.

Dengan demikian, predikat fundamentalisme yang diberikan Amerika dan Eropa kepada gerakan-gerakan Islam, tak lain adalah untuk memerangi kembalinya Islam dalam kehidupan. Ini memang masalah yang strategis, bahkan sangat vital bagi Barat. Karenanya mereka sangat berambisi untuk mempertahankan Dunia Ketiga --khususnya negeri-negeri Islam— sebagai dunia yang terbelakang, yang jauh dari kebangkitan yang hakiki. Tujuannya adalah untuk menghalang-halangi kembalinya negara Khilafah yang akan mencerabut sistem kehidupan mereka dari akar-akarnya serta menghancurkan ketamakan dan keserakahan mereka.

Dengarlah kesaksian salah seorang dari mereka, seorang peneliti-tamu (visiting researcher) di Univer-sitas Harvard untuk Studi-Studi Timur Tengah. Dalam sebuah memorandum yang disampaikannya kepada Kongres Amerika dia menyatakan, ”Kaum fundamen-talis memandang bahwa syari’at wajib diterapkan dengan segala rinciannya, dan bahwa penerapan tersebut bersifat mengikat bagi kaum muslimin seluruhnya. Dia --yaitu Islam-- adalah sumber asasi bagi kekuatan mereka. Mereka memandang pula bahwa syari’at layak diterapkan di masa sekarang sebagaimana layak diterapkan pada masa lampau.” Dia mengatakan pula, ”Kaum fundamentalis sangat membenci peradaban Barat, dan mereka menganggap bahwa peradaban Barat adalah penghalang terbesar yang menghambat penerapan Syari’at Islam.” Seorang peneliti Amerika yang lain --yaitu John L. Esposi-to-- dalam sebuah memorandum yang dia sampaikan kepada Kongres Amerika mengatakan, ”Sebenarnya yang mengancam kepentingan-kepentingan Amerika, adalah para funda-mentalis muslim.”

Jadi fundamentalisme yang mereka serang, sesung-guhnya adalah upaya menerapkan kembali Syari’at Islam dalam kehidupan. Andaikata memang ini yang dimaksud dengan fundamentalisme, maka kaum mus-limin --menurut pengertian Barat tersebut—haki-katnya adalah kaum fundamentalis, sebab kaum muslimin kini tengah merindukan dengan penuh semangat penerapan seluruh hukum-hukum Islam, di bawah naungan negara Khilafah yang akan menyelamatkan mereka dan bahkan menyelamatkan dunia dari jurang penderitaan akibat kapitalisme menuju kebajikan Islam.

Allah SWT berfirman :

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللهِ الْكَذِبَ وَهُوَ يُدْعَى إِلَى اْلإِسْلاَمِ وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ. يَرِيْدُونَ لِيُطْفِئُوْا نُوْرَاللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللهُ مُتِمُّ نُوْرِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ

“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah sedang dia diajak kepada agama Islam? Dan Allah memberi petunjuk kepada kepada orang-orang yang zalim. Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir benci” (QS Ash Shaff : 7-8)

GLOBALISASI

Perumpamaan kata “globalisasi” di antara istilah-istilah baru, adalah bagaikan “jilbab” di antara pakaian dan bagaikan “kuda Troya” di antara sarana perang. Artinya, dia menutupi apa yang terkandung di dalam-nya, untuk menyembunyikan sesuatu yang ditutupi-nya, bahkan menyembunyikan lebih banyak dari sekedar sesuatu yang dapat ditutupi.

Yang sangat jelas membuktikan hal itu, adalah apa yang pernah terjadi di Beirut pada akhir tahun 1997, tatkala Pusat Studi Kesatuan Arab --sebagai salah satu lembaga peninggalan kaum nasionalis Arab-- menye-lenggarakan konferensi untuk mengkaji globalisasi dan sikap yang harus diambil negara-negara Arab untuk menghadapinya, seakan-akan mereka menganggap bahwa globalisasi bertolak belakang dan mengancam ide nasionalisme.

Dalam konsideran yang terdapat dalam undangan konferensi, dinyatakan bahwa topik konferensi adalah:

1. Globalisasi dan metode negara-negara Arab dalam memahami dan menyikapinya.

2. Kemunculan globalisasi di bidang politik, ekonomi, dan budaya.

3. Sejarah, riwayat, dan peran globalisasi saat ini.

4. Sikap Amerika terhadap globalisasi, khususnya setelah runtuhnya Uni Soviet dan padamnya Perang Dingin.

5. Dampak globalisasi di bidang ekonomi dan pem-bangunan di negara-negara Arab.

6. Pencarian peran dan identitas kebudayaan Arab.

Pada konferensi itu diundang puluhan ulama dan profesor dari berbagai universitas. Ternyata mereka mempunyai persepsi yang simpang siur mengenai globalisasi dan bagaimana mensikapinya. Koran-koran lokal telah mempublikasikan resume berbagi lontaran peserta konferensi tersebut yang diselenggarakan tiga hari berturut-turut, yang menunjukkan konferensi itu lebih tepat disebut “debat kusir” daripada sebuah konferensi yang serius membahas suatu pemikiran. Akhirnya panitia konferensi memutuskan, bahwa konferensi tidak akan mengeluarkan resolusi atau rekomendasi apa pun.

Globalisasi adalah istilah baru dalam bahasa Inggris dan Perancis yang muncul sejak sekitar 10 tahun lalu. Istilah ini tidak digunakan untuk mensifati sesuatu bahwa keberadaan atau terwujudnya sesuatu itu telah berskala global di sebagian besar penjuru dunia, tetapi digunakan untuk menyatakan bahwa ada satu atau beberapa pelaku ekonomi yang bermaksud meng-globalkan sesuatu. Misalnya, ada satu perusahaan tertentu yang mengadopsi kebijakan produksi yang memandang seluruh dunia sebagai tempat yang layak untuk memproduksi barangnya. Kemudian perusahaan itu benar-benar memproduksi barangnya di satu atau beberapa negara dengan biaya produksi yang lebih rendah daripada di negara lainnya. Pada saat itulah, dikatakan bahwa perusahaan tersebut telah “meng-globalisasikan” produknya. Istilah ini diterapkan pula untuk kegiatan-kegiatan lain dari perusahaan tersebut atau perusahaan lainnya, misalnya kalau perusahaan itu mengadopsi kebijakan “globalisasi” untuk memasarkan produknya, mempromosikan produknya, atau mencari komoditas-komoditas baru beserta divesifikasinya. Ataupun untuk mempekerjakan para buruh, ahli, dan manajer, atau menarik para investor dan kreditor guna membiayai kegiatan-kegiatan perusahaan, dan lain sebagainya.

Istilah globalisasi ini pertama kali digunakan untuk mensifati kegiatan perusahaan-perusahaan besar Amerika pada awal pertengahan 80-an. Pada saat Ronald Reagan menjadi Presiden Amerika tahun 1981, dia mengambil kebijakan-kebijakan yang berani dalam hubungan internasional, baik di bidang ekonomi maupun politik, yang mendapat dukungan kuat dari kalangan bisnis Amerika. Di antara kebijakan itu adalah kebijakan dolar kuat untuk menarik para investor di luar negeri agar mereka mau menginvestasikan modal-nya pada obligasi-obligasi pemerintah Amerika dan pasar-pasar modal yang ada di sana. Tujuannya adalah untuk membiayai program-program Reagan untuk mempersenjatai kembali Amerika dan untuk memukul Uni Soviet dalam perlombaan senjata yang tengah berkecamuk saat itu. Program ini benar-benar telah berhasil menjatuhkan perekonomian Komunisme pada tahun 1989.

Kebijakan dolar kuat ini mengakibatkan nilai dolar mengalami kenaikan yang tinggi dan tetap konstan pada tahun-tahun pertama pemerintahan Reagan, hingga indeks nilai tukar dolar --bila diukur dengan mata uang negara-negara lain dan dibandingkan dengan pertu-karan perdagangan Amerika-- mencapai 159 poin pada Pebruari 1985. Padahal pada bulan pertama peme-rintahan Reagan, yakni bulan Januari 1981, indeks nilai tukar dolar adalah 91 poin. Artinya, nilai tukar dolar naik 75 %.

Di antara keberanian langkah politik Reagan, dia tidak memperhatikan dampak negatif atau efek samping dari kebijakan dolar kuat yang diambilnya, karena dia mengkonsentrasikan diri untuk memenangkan per-tarungan Kapitalisme melawan Komunisme. Di antara dampak negatif yang ada, adalah meningkatnya nilai dolar yang telah melemahkan kemampuan Amerika dalam kompetisi antara produk asing dengan produk Amerika, di dalam negeri Amerika. Akibatnya, ekspor Amerika merosot sementara impornya melonjak tajam. Defisit neraca perdagangan luar negeri Amerika semakin terakumulasi dalam jumlah besar pada masa Reagan, sebab jumlah totalnya --pada masa pemerintahan Reagan di tahun 80-an-- telah mencapai 723 miliar dolar AS. Padahal pada masa presiden sebelumnya di awal 80-an, jumlah total defisit hanya 4 miliar dolar AS.

Di antara dampak negatif kebijakan dolar kuat, adalah berkurangnya laba dari banyak perusahaan Amerika, disebabkan adanya persaingan antara produk asing dengan produk Amerika yang harganya meng-gunakan standar dolar. Ini memaksa perusahaan-perusahaan Amerika untuk menurunkan harga barang-nya, kemudian meninjau secara serius cara mengurangi biaya produksi barangnya, khususnya upah untuk buruh Amerika.

Sekelompok profesor dari beberapa universitas di Amerika kemudian melontarkan ide restrukturisasi bagi perusahan-perusahaan ini, dengan mengadakan tin-jauan ulang secara mendasar terhadap kegiatan-kegiat-an perusahaan, baik dalam hal produksi, pemasaran, maupun kegiatan lainnya. Ide ini mendapat sambutan hangat dari kalangan investor dan pengusaha Amerika. Penerapan ide ini secara nyata ternyata mengakibatkan ditutupnya banyak pabrik dan cabang-cabang perusa-haan Amerika, serta diberhentikannya sejumlah besar pegawai dan buruh perusahaan dengan pesangon yang besar. Misalnya seperti yang pernah dilakukan oleh General Motor --perusahaan mobil terbesar di Amerika-- yang memberhentikan sekaligus 74 ribu karyawannya, atau IBM --perusahaan komputer terbesar di sana-- yang memberhentikan 60 ribu karyawannya dalam tiga tahap pada waktu yang hampir bersamaan.

Setelah mengadakan restrukturisasi, perusahaan-perusahaan ini kemudian mencari kompensasi dari produksi pabrik yang telah ditutupnya, atau produksi cabang pabrik yang telah dijualnya di Amerika. Caranya ialah dengan mencari produksi pengganti yang berasal dari perusahaan-perusahaan kecil yang baru, yang membayar upah buruh-buruhnya dari dana hutang, di mana buruh-buruh ini terutama adalah mereka yang terkena PHK akibat restrukturisasi suatu perusahaan. Cara lainnya, ialah membangun pabrik-pabrik baru dan cabang-cabangnya di luar Amerika, terutama karena efek samping kebijakan dolar kuat, adalah sangat murahnya harga dan upah di luar Amerika. Perusahaan-perusahaan ini memusatkan perhatiannya di negeri-negeri yang miskin dengan penduduk yang berjubel, seperti Indonesia, Filipina, Thailand, India, Meksiko, dan Brazil, di mana upah buruhnya per bulan bahkan masih lebih rendah daripada upah buruh pabrik di Amerika untuk satu atau dua jam saja. Kenyataan seperti ini tidak hanya untuk upah buruh lokal, tetapi termasuk pula gaji para intelektual dan profesional lokal, seperti para insinyur dan programer komputer di mana pun juga. Mereka harus menerima gaji mereka lebih rendah dibanding-kan gaji di Amerika, karena yang mereka butuhkan adalah sekedar pekerjaan dan gaji (yaitu, asal tidak menganggur).

Di Amerika sendiri muncul konflik politik seputar proses restrukturisasi dan PHK karyawan yang bersifat massal dalam jumlah yang mencengangkan itu. Banyak orang Amerika berpandangan bahwa pengi-riman tenaga kerja Amerika ke luar negeri serta dicegahnya mereka yang di Amerika untuk bekerja, berarti telah memutus mata pencaharian mereka, dan bahwa motif berbagai perusahaan itu tiada lain hanyalah ketamakan kapitalistik belaka. Perusahaan-perusahaan memban-tah, karena mereka merasa terpaksa untuk menjalankan langkah-langkahnya disebabkan adanya kompetisi “global” yang sangat keras. Mereka menyatakan pula, bahwa tak ada lagi alternatif bagi mereka kecuali harus berkompetisi dalam skala global dan mengglobali-sasikan kegiatan-kegiatannya.

Komisi-komisi dalam Senat dan Kongres Amerika kemudian mengadakan sidang-sidang investasi ter-buka, untuk meninjau masalah “globalisasi” perusa-haan-perusahaan Amerika tersebut. Ini dilakukan pertama kali tahun 1989 dan yang terakhir tahun 1992. Investigasi-investigasi ini menyebabkan tersebarluas-nya istilah “globalisasi”. Kemudian komisi-komisi tersebut meresmikan istilah ini dengan mencantum-kannya sebagai judul keputusan-keputusannya pada tahun 1989 dan tahun-tahun berikutnya. Inilah peng-gunaan istilah “globalisasi” yang pertama kali sebagai judul buku atau keputusan yang dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Sejak itu terbit banyak buku dengan topik “globalisasi” hingga jumlahnya --yang berbahasa Inggris-- mencapai sekitar 260 buah buku. Sebagian besarnya terbit pada dekade 90-an, pada era Bill Clinton.

Akan tetapi, di balik itu investigasi-investigasi tersebut ternyata telah mencairkan stagnasi politik akibat penentangan terhadap PHK karyawan perusa-haan dan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri, juga telah melegitimasi langkah perusahaan-perusahaan tersebut, serta membuat capai media massa yang menentang PHK karyawan. Investigasi berakhir tahun 1992, dan belum dilanjutkan lagi sejak saat itu, kendatipun masalah PHK cukup menimbulkan dampak pada Pemilu pada akhir 1992. Setelah Clinton meme-gang kekuasaan, Kongres menyetujui kesepakatan NAFTA yang telah dirintis oleh George Bush dengan Kanada dan Meksiko. Padahal kesepakatan itu memberikan kesempatan kepada perusahaan-perusa-haan Amerika dan Kanada untuk membuat barang yang diinginkannya di Meksiko --yang upah buruhnya sangat murah di sana-- kemudian menjualnya di pasar Amerika dan Kanada. Inilah yang sebenarnya dikhawatirkan oleh berbagai asosiasi buruh dan kelompok-kelompok politik lainnya di Amerika yang menentang perusahaan-perusahaan tersebut dan menuduh mereka telah mengirimkan tenaga kerja ke luar Amerika.

Jadi, konflik politik yang muncul di Amerika ter-masuk perseteruan politik yang menyertainya seputar PHK massal dan pengiriman tenaga kerja ke luar Amerika, adalah latar belakang tersebarnya istilah yang kemudian terkenal sebagai “globalisasi”. Perseteruan politik itu telah berakhir tahun 1992, dengan kemenangan di pihak kalangan bisnis Amerika beserta perusahaan-perusahaan mereka.

Kondisi ini kemudian melahirkan opini umum bahwa tenaga kerja yang profesional, berkeahlian tinggi, dan berpenghasilan besar, tidak boleh keluar dari Amerika. Tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri haruslah yang hanya mengandalkan tenaga fisik, dengan pekerjaan rutin yang melelahkan, serta upah yang pas-pasan. Padahal, ini pun sama sekali tidak mereka inginkan untuk diri mereka sendiri.

Teropinikan pula bahwa jika harapan-harapan itu terwujud, manfaatnya akan kembali juga bagi umum-nya orang Amerika, karena akan membuat Amerika terspesialisasi sebagai negara industri maju dengan tenaga kerja yang kerja profesional, berkeahlian tinggi, dan berpenghasilan besar. Dan juga, pengiriman tenaga-tenaga buruh kasar ke luar negeri, artinya adalah barang akan terkumpul atau dibuat oleh buruh-buruh asing yang rendah upahnya di luar negeri, kemudian barang itu akan kembali ke pasar Amerika dengan harga yang sangat murah.

Masalah ini berakhir secara politis tahun 1992 tatkala Clinton memegang tampuk kekuasaan tahun 1993 yang kemudian mengubah kebijakan ekonomi luar negeri Amerika. Pendahulu Clinton --George Bush-- telah mengadopsi kebijakan untuk meningkatkan ekspor barang dan memprakarsai pembentukan WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) sebagai pengganti GATT (Perjanjian Umum Tentang Tarif dan Perda-gangan), untuk membuka pintu seluas-luasnya bagi ekspor. Tetapi para investor dan kalangan bisnis Amerika memandang bahwa yang lebih penting dari peningkatan ekspor, adalah penyempurnaan langkah yang telah dirintis pada akhir 80-an, yaitu restrukturi-sasi yang tuntas terhadap perusahaan-perusahaan, untuk menggiatkan perusahaan dan meningkatkan kemampuannya menghasilkan laba. Mereka meman-dang pula bahwa restrukturisasi ini, akan memungkin-kan dikirimkannya para tenaga ahli --bukan hanya barang-- ke luar negeri, di samping memungkinkan Amerika untuk terjun dalam kompetisi yang sangat ketat melawan perusahaan-perusahaan non-Amerika.

Para investor juga melontarkan ide-ide lain kepada Clinton dan menginginkan agar Clinton mengadopsi-nya. Mereka mengatakan, ketika Amerika bertahun-tahun melancarkan Perang Dingin dan memegang tanggung jawab internasional lainnya, Eropa dan Jepang telah berhasil memperkokoh kekuatan ekonominya, sehingga menjadi ancaman bagi kepentingan-kepentingan vital Amerika. Padahal Perang Dingin telah berakhir, sehingga Amerika wajib mempersiapkan kemampuannya untuk bersaing dengan Eropa dan Jepang, serta mulai menyaingi keduanya dengan kekuatan penuh. Amerika juga tidak perlu lagi menjaga kepentingan Eropa dan Jepang seperti pada saat Amerika melancarkan Perang Dingin. Demikian pendapat para investor itu. Bahkan, mereka menyerukan untuk mengaktifkan dinas intelijen Amerika untuk memata-matai perekonomian Eropa dan Jepang beserta perusahaan-perusahaannya, setelah sebelumnya kurang terpakai untuk itu karena adanya Perang Dingin dan masalah-masalah politik lainnya.

Menyambut berbagai ide dan opini tersebut, Clinton dan Menteri Keuangan Robert Rubin --yang juga salah seorang pengusaha besar di Wall Street-- mengadopsi kebijakan yang menyerukan dibukanya pasar-pasar dunia seluruhnya, tidak hanya untuk meningkatkan ekspor Amerika, tetapi juga untuk memungkinkan perusahaan-perusahaan Amerika ber-produksi di mana pun selama tenaga kerjanya murah, memasarkan jasa-jasa dan komoditas industrinya di Amerika dan di mana saja selama Amerika ingin eksis di pasar internasional. Tetapi yang ter-penting, adalah kebijakan keduanya untuk menggiatkan perusahaan-perusahaan keuangan Amerika --yaitu beraneka macam bank, perusahaan asuransi, dan kantor pialang saham-- untuk menembus pasar-pasar modal di luar Amerika. Ini adalah hal baru, sebab strategi ini belum pernah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut di luar Amerika dalam zona yang sangat luas, di mana sebelumnya kedatangan mereka di kebanyakan negeri tidak pernah disambut baik disebabkan aktivitasnya yang berbahaya. Karena, perusahaan-perusahaan keuangan pada tabiatnya selalu berupaya untuk menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan, premi asuransi, dana saham dan obligasi, sehingga terjadi akumulasi dana yang sangat besar pada perusahaan keuangan tersebut, yang kemudian dapat dia kelola sesuai kehendaknya.

Para investor itu senantiasa dihantui oleh suatu ide bahwa segera setelah berakhirnya Perang Dingin, dunia mau tak mau akan terbagi menjadi 3 (tiga) zona kekuatan ekonomi raksasa; Pertama, zona yang meliputi Eropa secara keseluruhan yang akan didominasi negara-negara Eropa Barat, Kedua, zona yang meliputi sebagian besar Asia, yang akan dikuasai oleh Jepang, Ketiga, zona yang meliputi benua Amerika, yakni Amerika Utara dan Amerika Latin, yang akan dikuasai oleh Amerika Serikat Mereka cemas kalau ide ini menjadi kenyataan. Karena itu, mereka menyerang ide ini dengan ganas dan mencapnya sebagai ide yang bersifat regional belaka. Mereka mengisyaratkan bahwa Eropa dan Jepang-lah yang berada di balik sosialisasi ide tersebut.

Para investor itu kemudian melontarkan ide penggantinya, yaitu bahwa dunia telah menjadi satu, dan bahwa tak ada seorang pun yang lebih berhak dari yang lain untuk mendapatkan sebagian dari padanya. Semua pihak berhak untuk saling bersaing dimana pun juga. Mereka mempropagandakan ide ini melalui serangan media massa yang sangat intensif. Pemerin-tahan Clinton pun akhirnya mengadopsi ide ini. Karena itu mereka lalu menerbitkan banyak buku, di antaranya buku yang membicarakan “globalisasi” kegiatan-kegiatan perusahaan Amerika.

Serangan media massa di Amerika itu berhenti ketika pemerintahan Clinton mengadopsi ide teersebut pada awal masa pemerintahannya. Namun serangan itu terus berlangsung ke luar Amerika di bawah kendali pemerintahan Clinton beserta lembaga-lembaga pelak-sananya. Di luar Amerika, khususnya di negara-negara yang disebut “negara-negara berkembang”, serangan media massa tetap berlangsung masif, yang akhirnya menyibukkan para penduduknya untuk memikirkan ide-ide yang dangkal dan mengecoh, dengan ungkapan-ungkapan yang tidak jelas dan lemah, disertai banyak pemutarbalikan fakta yang tidak bermutu dan terasa aneh bin ajaib. Akibatnya, banyak orang yang kebi-ngungan menghadapi ide “globalisasi”.

Meskipun terdapat kekacauan pada ide-ide yang dilontarkan dalam serangan media massa tersebut, tetapi serangan ini memang telah terencana secara sentral untuk mencapai hasil-hasil tertentu, yaitu membentuk dan membuat opini umum agar masyarakat membuka pintu yang seluas-luasnya terhadap segala kegiatan perusahaan-perusahaan Amerika dalam serangannya yang total guna memetik hasil-hasil kemenangan Perang Dingin. Selain itu juga agar Amerika dianggap lebih berhak menguasai pasar tersebut daripada Eropa dan Jepang.

Sangat disayangkan, serangan tersebut ternyata telah berhasil mencapai target-targetnya, di samping telah makin memantapkan para penguasa yang cen-derung kepada Barat untuk membius bangsanya sendiri dalam menghadapi serangan terbaru Amerika dalam upayanya untuk menembus negeri-negeri mereka. Upaya ini bertujuan untuk membuka pasar negeri-negeri tersebut terhadap barang buatan Amerika, memanfaatkan tenaga buruhnya yang murah-meriah demi kepentingan Amerika, mengalirkan harta kekayaan bangsanya ke dalam kantong perusahaan-perusahaan keuangan Amerika, serta mengendalikan pasar-pasar modalnya untuk kepentingan usaha Amerika.

Ide-ide yang dijajakan dengan kedok “globalisasi” yang dilontarkan Amerika ke luar negeri, khususnya negara-negara Dunia Ketiga, antara lain :

· Setelah hancurnya Uni Soviet, tak ada lagi di dunia ini selain sistem ekonomi Barat yang mereka nama-kan “Sistem Ekonomi Pasar”, untuk menggantikan namanya yang sebenarnya, yaitu “Sistem Ekonomi Kapitalis”, yang patut diingat kerakusannya dan reputasinya yang sangat buruk sekali. Dikatakan bahwa seluruh negeri-negeri di dunia kini telah menerapkan sistem tersebut, atau minimal berhasrat dan berupaya untuk menerapkannya.

· Dunia modal seluruhnya telah menjadi satu, sebab para pemiliknya mampu memindahkannya ke negeri mana pun atau mampu menanamkannya di bidang investasi mana pun dengan keuntungan yang lebih besar daripada pihak lain. Dikatakan bahwa pemindahan modal ini dapat berlangsung secepat kilat karena dimudahkan oleh sarana-sarana komunikasi yang cepat, dan bahwa modal ini tak akan diinvestasikan di negeri-negeri yang membuat penghalang-penghalang untuk menghambat aliran modal.

· Dunia kerja seluruhnya juga telah menjadi satu. Tetapi perusahaan-perusahaan yang mereka katakan berasal dari bermacam-macam negara, sebenarnya tidak demikian faktanya. Karena, perusahaan induknya (holding company) tetap berasal dari satu negara saja dan tak mungkin kecuali berasal dari satu negara. Perusahaan-perusahaan ini dikatakan ber-kemampuan memproduksi atau memasarkan barang dalam skala global, sehingga negeri mana pun yang sedang giat membangun akan menyambut perusahaan-perusahaan tersebut untuk membuka lapangan kerja bagi rakyatnya, atau untuk memasar-kan produk-produknya. Jika tidak mau, perusahaan itu akan berpaling menuju negara lain.

· Sarana-sarana komunikasi di seantero pelosok dunia seluruhnya telah sempurna dan saling ber-hubungan secara kompleks sedemikian rupa, sehingga tak ada satu pihak pun yang dapat mendo-minasinya. Dikatakan bahwa saling keterkaitan ini akan menimbulkan kondisi di mana informasi yang diterima masyarakat hampir sama, bahkan berbagai pendapat dan perasaan mereka pun hampir-hampir homogen.

Inilah beberapa ide “globalisasi” yang dijajakan di negara-negara Dunia Ketiga. Tujuannya adalah agar Dunia Ketiga menyambut gembira kedatangan modal dan tenaga kerja asing, mengambil rekomendasi para pemilik modal dan tenaga kerja itu untuk mengoreksi berbagai undang-undang di negaranya, serta melaku-kan privatisasi badan usaha milik negara (BUMN), agar Amerika dapat dengan mudah membelinya. Mereka mengatakan bahwa tak ada alternatif lain di luar pilihan-pilihan tersebut, jika kita memang ingin menyusul rombongan dunia seluruhnya untuk meng-globalisasikan modal dan tenaga kerja. Kalau tak ikut rombongan, kita akan tetap terbelakang, kata mereka.

Maka, jangan sampai ada seorang pun yang lalai dari pengaruh seruan dan propaganda yang memutar-balikkan fakta ini, dari kedok “globalisasi” yang di-gunakan untuk menutupi hakikat sebenarnya di negeri mana pun yang sedikit di dalamnya orang-orang yang sadar dan bertanggungjawab, dari kecenderungan penduduknya untuk mengikuti seruan-seruan tersebut dari media massa, serta dari meratanya ketidaktahuan akan masalah ini!

Oleh karena itu, bukan hal yang aneh bila kita membandingkan propaganda “globalisasi” ini dengan serangan Kristenisasi pada abad lampau, maka se-rangan kali ini lebih berbahaya daripada serangan sebelumnya. Sebab serangan kali ini sekalipun tidak memakai kedok agama, namun tak dapat dipungkiri, sebenarnya lebih mengerikan. [ ]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar